Minggu, 05 Juni 2016

Tafsir Ibadah



TAFSIR AYAT PUASA DALAM
SURAT AL-BAQARAH AYAT 183-187

Makalah Revisi
Diajukan Guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah
Tafsir Ibadah

Dosen Pengampu:
Agus Salim, Lc., M.Th.I.





Disusun oleh:
Choiruddin
2014.01.01.320
Muhammad Fachri Dzulfikar
2014.01.01.272

JURUSAN USHULUDDIN
PROGRAM STUDI ILMU QUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
SARANG REMBANG
2016



TAFSIR AYAT PUASA DALAM
SURAT AL-BAQARAH AYAT 183-187
Oleh: Choiruddin dan

I. Pendahuluan
Puasa merupakan tempat pembinaan bagi setiap muslim untuk membina dirinya, di mana masing-masing mengerjakan amalan yang dapat memperbaiki jiwa, meninggikan derajat, memotivasi untuk mendapatkan hal-hal yang terpuji dan menjauhkan diri dari hal-hal yang merusak. Juga memperkuat kemauan, meluruskan kehendak, memperbaiki fisik, menyembuhkan penyakit, serta mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya.
Dengannya pula berbagai macam dosa dan kesalahan akan diampuni, berbagai kebaikan akan semakin bertambah, dan kedudukan pun akan semakin tinggi.
Allah Subānahu wa Ta’ālā telah mewajibkan bagi kaum muslimin untuk menjalankan puasa sepanjang bulan Ramadhan, bulan tersebut merupakan sayyidusy syuhuur (penghulu bulan-bulan lainnya), padanya dimulai penurunan al-Qur’ān. Bulan Ramadhan merupakan bulan ketaatan, pendekatan diri, kebajikan, kebaikan, sekaligus sebagai bulan pengampunan, rahmat dan keridhaan.
Sabda Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَقَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ» " [1]

”Dari Abī Hurairah, berkata: Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam telah bersabda: “barang siapa puasa ramadhan dan menyambutnya dengan rasa iman dan mengharapkan pahala, maka Allah Subānahu wa Ta’ālā akan mengampuninya dari dosa-dosa yang sudah lewat”  (HR. Sunan Ibnu Majah).


II. Ayat Puasa
A. Surat al-Baqarah 2:183-187
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٨٣﴾ أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ ۚ وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿١٨٤﴾ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿١٨٥﴾ وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ ﴿١٨٦﴾ أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ ﴿١٨٧﴾

 “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa [183]. Yaitu beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tiak berpuasa) maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang ia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberikan makan kepada seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya [184]. Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Qur’ān, sebagai petunjuk bagi manusia dan pennjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (diantara yang benar dan yang bathill). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah Subānahu wa Ta’ālā menghendaki mudah bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangan-Nya dan mengagungkan Allah Subānahu wa Ta’ālā atas petuunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur [185]. Dan apabila hamba-hambaku bertanya padamu (Muhammad alla Allah ‘Alaihy wa Sallam) tentang aku, maka sesungguhnya aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepadaku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-ku dan beriman kepada-ku, agar mereka memperoleh kebenara [186]. Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah Subānahu wa Ta’ālā mengetahui  bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima taubatmu dan memaafkanmu. Maka sekarang campuurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah Subānahu wa Ta’ālā bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah Subānahu wa Ta’ālā, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah Subānahu wa Ta’ālā menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa [187].

B. Mufradat Ayat
الصِّيَامُ
Kalimat Ash-Shiyam secara bahasa ialah mencegah dari sesuatu dan meninggalkannya. Menurut Ar-Raghib, Ash-Shaum adalah mencegah perbuatannya dari makan, bicara, berjalan. Abu Ubaidah berkata: “Setiap orang yang mencegah dari makan, bicara,  perjalanan maka ia ialah orang yang berpuasa”[2].
فَعِدَّةٌ
Kalimat Fa’idatun, menurut Ar-Raghib Al-‘Idatun ialah sesuatu yang dihitung, maksudnya  hari-hari yang dihitung dalam puasa bulan Ramadhan. Imam Qurthubi berkata: “kata Al-‘Idatu berasal dari kata Al-‘Iddu bermakna yang hitung[3].
اُخَرَ
Kalimat Ukhara jama’ dari kata Ukhra yang artinya hari-hari yang lain. Menurut pendapat imam Kisāi bahwa kata itu dicegah dari perubahan (Ash-Sharfu) karena kata tersebut bersekutu dengan kata ākhar. [4]
يُطِيقُونَهُ
Kalimat Yutīqūnahu maksudnya ialah mereka yang berpuasa dengan menanggung beban atau kesulitan. Ibnu Mandzur berkata: Al-Ithāqah yaitu berpuasa semampunya. Ar-Raghib berkata: Ath-Thāqah adalah penyebutan bagi orang yang mampu terhadap sesuatu yang kemunngkinan baginya untuk melakukannya dengan menanggung beban[5].
فِدْيَةٌ
Kalimat fidyatun yaitu sesuatu penebusan seseorang terhadap dirinya sendiri dengan menggunakan harta atau selainnya karena penyebab dirinya menringkas ibadahnya dengan ibadah yang lain, hal itu menyerupai kafarah dari sebagian macam-macamnya.
شَهْرُ
Kalimat Syahrun maksudnya ialah bulan yang diketahui, dinamakan Asy-Syahrun karena bulan bagi seseorang untuk melaksanakan ibadah dan bermu’amalah.
رَمَضَانَ
Kalimat Ramadhan yaitu Ar-Ramdhu bermakna sangat panasnya matahari, dinamakan Ramadhan karena bulan ini membakar dosa-dosa perbuatan manusia. Az-Zamakhsari berkata sewaktu para ulama memindah beberapa nama-nama bulan maka mereka menamakan dengan bulan yang jatuh didalamnya, dan bulan ini mencocoki hari-hari sangat panas maka bulan ini dinamakan bulan Ramadhan[6]. Dikatakan bahwa dinamakan Ramadhan karena bulan Ramadhan bisa menghapus dosa-dosa dengan cara melakukan perbuatan-perbuatan yang baik[7].
الرَّفَثُ
Lafadz Al-Rafatsu  yaitu Jima’, menurut Ar-Raghib bahwa Al-Rafatsu ialah pembicaraan yang mengandung suatu yang dianggap jelek mengucapkannya dari jima’. Allah Subānahu wa Ta’ālā menjadikan kinayah dari jima’ di dalam firmannya yaitu:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ
Sebagai pengingat diperbolehkannya mendekati istri-istrinya untuk melakukan jima’  dan berbicara kepada mereka. Menurut Ibnu Abbas bahwa Al-Raftsu adalah jima’, Sesungguhnya Allah Subānahu wa Ta’ālā maha mulia dan  maha kasih sayang[8].
تَخْتَانُونَ
Kalimat takhtānūna yaitu Al-Ikhtiyānu dari lafadz Al-Khiyānat. Menurut orang ‘Arab Al-Khiyānat  merupakan kebalikan dari amanah. Ar-Raghib berkata: Al-Khiyānat bertolakan dengan amanah. Al-Ikhtiyānu ialah berusaha untuk berkhianat, tidak boleh berkata  تخونون أنفسكم karena itu tidak ada khiyanat bagi mereka akan tetapi mereka berusaha untuk berkhianat, keinginan manusia untuk melakukan perbuatan khianat.[9]
عَاكِفُونَ
Kalimat ‘Ākifūn yaitu Al-‘Itikāf yang artinya menetap. Dikatakan عكفت بالمكان maksudnya yaitu saya menetap disuatu tempat. Allah Subān ahu wa Ta’ālā, berfirman dalam surat Thāha 91:
قَالُوا لَن نَّبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِينَ حَتَّىٰ يَرْجِعَ إِلَيْنَا مُوسَىٰ ﴿٩١﴾
Tetapi mereka berkata, "Kami akan tetap menyembah anak sapi ini sampai Mūsā kembali kepada kami."(91)
Sedangkan secara istilah adalah berdiam atau tinggal didalam masjid untuk melakukan ibadah kepada Allah Subānahu wa Ta’ālā dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Subānahu wa Ta’ālā
حُدُودُ اللَّهِ
Kalimat Hudūdullah, lafadz Al-Hudūd jama’ dari lafadz Haddun secara bahasa adalah mencegah, dinamakan Al-Hadīd  karena mencegagah sesuatu dari penyakit. Az-Zujaj berkata bahwa Al-Hudūd ialah sesuatu yang Allah Subānahu wa Ta’ālā melarang atau mencegah dari makhluk-makhluk-Nya maka tidak boleh bertemuan[10].






C. Qira’āh ayat
1.    Mayoritas ulama membaca (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ) [Qs. al-Baqoroh: 184]. Sedangkan Ibnu ‘Abbās membaca ( يُطَوّقُونَهُ )[11].
2.    Mayoritas ulama membaca (فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ )[Qs. al-Baqoroh: 184]. Sedangkan Nafi’ dan Ibnu Āmir membaca (فِدْيَةُ طَعَامِ مسَاكِينٍ ) denan menjama’kan kalimat masākīn, dan mengidofahkan kalimat fidyatun tehadap tha’ām.[12]
3.    Mayoritas ulama membaca (فَمَن تَطَوَّعَ ) [Qs. Al-Baqoroh: 184] dengan menggunakan fi’il madhi. Sedangkan Ibnu Hamza dan Kisa’i membaca (فَمَن تَطَوَّعَ ) dengan menggunakan fi’il mudhorek[13].
4.    Mayoritas ulama membaca (  وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ ) [Qs. Al-Baqoroh: 185] dengan cara di tahfif. Sedangkan Abu Bakar dari ‘Ashim membaca (  وَلِتُكَمّلُوا الْعِدَّةَ ) dengan cara di tasdid.

D. Sebab Turunnya Ayat
1.    Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Mu’ād bin Jabal RA bahwa dia berkata: “Bahwa Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam datang ke Kota Madinah kemudian dia berpuasa hari ‘Āsyura’[14], dan puasa tiga hari setiap bulan. Kemudian Allah Subānahu wa Ta’ālā mewajibkan puasa bulan Ramadhan. Kemudian Allah Subānahu wa Ta’ālā menurunkan Surat Al-Baqoroh ayat 183, yaitu:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٨٣﴾ أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ ۚ وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿١٨٤﴾

Kemudian barangsiapa yang mampu puasa maka berpuasalah dan barangsiapa yang ingin bermukah maka berbukahlah dan memberikan makan kepada orang-orang miskin. Kemudian Allah Subānahu wa Ta’ālā mewajibkan puasa bagi orang yang sehat yang mampu untuk berpuasa. Dan menetapkan berbuka bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa. Kemudian Allah Subānahu wa Ta’ālā menurunkan Surat Al-Baqoroh ayat: 185
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ[15]
2.    Hadis yang diriwayatkan oleh Salamah, bahwa ia berkata: sewaktu ayat ini turun ayat 184 (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ  ). barangsiapa yang mampu berpuasa, maka berpuasalah. Barangsiapa yang berpuasa dan mengharapkan keutamaan atas melakukannya itu hingga turun ayat ini setelah saya menasakhnya dengan ayat 185 (فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ  )[16].
3.    Hadis yang diriwayatkan oleh orang Arab, mereka bertanya kepada Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam perkara apa yang menjadi dekat dengan Allah Subānahu wa Ta’ālā sehingga kita dapat mengambil keberuntungan dari itu? Atau menjauhinya? Kemudian turunlah ayat 186 (وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ).

E. Status I’rab Ayat
Kalimat كما كتب , kaf pada kalimat ini di baca nasab dan statusnya adakalanya sebagai sifat dari masdar yang dibuang, adapun perkirannya yaitu كتب عليكم الصيام كتابة كما كتب  dan ما  nya adalah maa masdariah maksudnya مثل كتابته  dan ada kalanya statusnya sebagai hal dari الصيام  adapun perkirannya yaitu كتب عليكم الصيام مشبها كما كتب. Lafadz أياما معدودات  dibaca nashob dengan mengira-ngirakan kalimat fi’il., adapun perkiraannya yaitu أياما معدودات  صوموا . kemudian lafadz صوموا di buang karena menunjukan كتب عليكم الصيام baginya dan tidak boleh menashobkannya dengan lafadz الصيام karena adanya pemisah lain diantaranya dan diantara penyambungnya yaitu lafadz كما كتب. Lafadz وان تصوموا  statusnya sebagai mubtada’ dan khobarnya yaitu lafadz خير لكم. Lafadz فعدة من أيام أخر statusnya mubtada’, adapun khobarnya dikira-kirakan yaitu lafadz فعليه عدة من أيام أخر. Lafadz من أيام  statusnya sebagai sifat terhadap lafadz عدة yang di baca rafa’. Lafadz أخر merupakan jama’ dari lafadz أخرى yang mengikuti wazan فعلى yang berfaidah litafdhil dan statusnya sebagai sifat dari lafadz أيام. Lafadz فدية statusnya sebagai mubtada’ sedangkan khobarnya yaitu lafadz وعلى الذين يطيقونه. Lafadz طعام مسكين statusnya sebagai badal dari lafadz فدية dan lafadz مسكين tidak dijama’kan karena kwajiban dalam permulaan islam yaitu adanya lafadz إطعام مسكين  kemudian itu di nasakh dengan firman Allah Allah Subānahu wa Ta’ālā yaitu فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ  dan الطعام bermakna الإطعام. Lafadz شهر رمضان statusnya sebagai mubtada’ dan khobarnya yaitu lafadz الذي أنزل فيه القرأن. Lafadz هدى statusnya sebagai hal dari lafadz القرآن, maksudnya ialah sebagai petunjuk bagi manusia. Lafadz بينات statusnya sebagai ‘athof darinya. Lafadz الشهر dibaca nashob dan statusnya sebagai dhorof, adapun pentakdirannya yaitu فمن شهد منكم الشهر في المصر karena sesungguhnya seorang musaffir ketika melihat bulan (waktu datangnya puasa) maka tidak wajib puasa baginya. lafadz ولتكملوا العدة statusnya di ‘aathofkan terhadap lafadz yang dibuang, adapun perkiraannya yaitu ليسهل عليكم ولتكملوا العدة.[17]

F. Balaghah Ayat
Kalimat كما كتب merupakan tasybih (penyerupaan) yang dinamakan tasybih Mursal[18] Mujmal[19], adapun penyerupaannya dalam kwajiban bukannya cara melakukannya. Lafadz فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ merupakan Majaz yang dibuang, adapun perkiraannya yaitu من كان مريضا فأفطر atau على سفر فأفطر. Lafadz وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ sebagian Ulama’ menyatakan bahwa tanda pada dhomir merupakan huruf nafi, maksudnya ialah لايطيقونه لكبرأو مرض لايرجى برؤه . lafadz اليسر.. و العسر  itu tempat penyangkalan.


G. Lathoifut Tafsir
1.    Ayat-ayat al-Qur’ān mengisyaratkan bahwa puasa adalah ibadahnya orang terdahulu, Allah Subānahu wa Ta’ālā telah mewajibkan berpuasa kepada umat-umat sebelum kita. Akan tetapi Ahli Kitab, mereka merubahnya dalam kwajiban ini dan  pastinya Ahli Kitab tersebut menyesuaikan keadaan yang sangat panas dan dingin.
2.    Firman Allah Subānahu wa Ta’ālā dalam surat 2:185. Ibnu ‘Abbas berkata bahwa ayat ini termasuk kategori lathoiful fashohah, karena ada syarat yang dibuang pada ayat tersebut, adapun perkiraannya adalah فأفطر فعدة من ايام أخر.
3.    Allah Subānahu wa Ta’ālā telah menjelaskan pada tengah ayat tersebut, bahwa puasa itu dapat menyalurkan ketaqwaan kepada Allah Subānahu wa Ta’ālā, adanya kwajiban puasa itu dapat menjelaskan Keutamaan-keutamaan yang besar dan tinggi hikmahnya. Puasa dapat terhindar keinginan-keinginan  yang dapat di perbolehkan, karena takut kepada Allah Subānahu wa Ta’ālā, melaksankan perintahnya dan menjauhi larangannya dan melakukan kesunahan untuk mencari pahala. Diberikan pendidikan itu bertujuan supaya memiliki ketaqwaan dengan cara meninggalkan syahwat yang yang haram. Puasa dapat menghancurkan atau mengurangi keinginan yang hati dan kemaluan.

III. Kasimpulan
Banyak orang yang menafsirkan mengenai surat al-Baqoroh ayat 183-187, semisal: Ar-Raghib berpendapat bahwa Ash-Shaum adalah mencegah perbuatannya dari makan, bicara, berjalan. Abu Ubaidah berkata: “Setiap orang yang mencegah dari makan, bicara,  perjalanan maka ia ialah orang yang berpuasa”. Imam Qurthubi berkata: “kata Al-‘Idatu berasal dari kata Al-‘Iddu bermakna yang hitung, dan penafsiran ayat-ayat lainnya. Penafsiran demikian dipandang dari segi mufradatnya.
Kemudian dari segi Qira’āh ayat, dalam hal ini mayoritas ulama berbeda pendapat mengenai qira'ah dalam ayat-ayat tersebut, semisal Mayoritas ulama membaca (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ) [Qs. al-Baqoroh: 184]. Sedangkan Ibnu ‘Abbās membaca ( يُطَوّقُونَهُ ), Mayoritas ulama membaca (فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ )[Qs. al-Baqoroh: 184]. Sedangkan Nafi’ dan Ibnu Āmir membaca (فِدْيَةُ طَعَامِ مسَاكِينٍ ) denan menjama’kan kalimat masākīn, dan mengidofahkan kalimat fidyatun tehadap tha’ām, Mayoritas ulama membaca (فَمَن تَطَوَّعَ ) [Qs. Al-Baqoroh: 184] dengan menggunakan fi’il madhi. Sedangkan Ibnu Hamza dan Kisa’i membaca (فَمَن تَطَوَّعَ ) dengan menggunakan fi’il mudhorek, Mayoritas ulama membaca (  وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ ) [Qs. Al-Baqoroh: 185] dengan cara di tahfif. Sedangkan Abu Bakar dari ‘Ashim membaca (  وَلِتُكَمّلُوا الْعِدَّةَ ) dengan cara di tasdid.
Sebab Turunnya Ayat, banyak riwayat yang mengenai sebab-sebab turunnya ayat-ayat tersebut, misalnya: Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Mu’ād bin Jabal RA bahwa dia berkata: “Bahwa Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam datang ke Kota Madinah kemudian dia berpuasa hari ‘Āsyura’ , dan puasa tiga hari setiap bulan. Kemudian Allah Subānahu wa Ta’ālā mewajibkan puasa bulan Ramadhan. Kemudian Allah Subānahu wa Ta’ālā menurunkan Surat Al-Baqoroh ayat 183, yaitu:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٨٣﴾ أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ ۚ وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿١٨٤﴾

Kemudian barangsiapa yang mampu puasa maka berpuasalah dan barangsiapa yang ingin bermukah maka berbukahlah dan memberikan makan kepada orang-orang miskin. Kemudian Allah Subānahu wa Ta’ālā mewajibkan puasa bagi orang yang sehat yang mampu untuk berpuasa. Dan menetapkan berbuka bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa. Kemudian Allah Subānahu wa Ta’ālā menurunkan Surat Al-Baqoroh ayat: 185 فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Adapun Status I’rab Ayat, misalnya Kalimat كما كتب , kaf pada kalimat ini di baca nasab dan statusnya adakalanya sebagai sifat dari masdar yang dibuang, adapun perkirannya yaitu كتب عليكم الصيام كتابة كما كتب  dan ما  nya adalah maa masdariah maksudnya مثل كتابته  dan ada kalanya statusnya sebagai hal dari الصيام  adapun perkirannya yaitu كتب عليكم الصيام مشبها كما كتب. Lafadz أياما معدودات  dibaca nashob dengan mengira-ngirakan kalimat fi’il., adapun perkiraannya yaitu أياما معدودات  صوموا . kemudian lafadz صوموا di buang karena menunjukan كتب عليكم الصيام baginya dan tidak boleh menashobkannya dengan lafadz الصيام karena adanya pemisah lain diantaranya dan diantara penyambungnya yaitu lafadz كما كتب. dll.
Selain itu ada juga dari segi Balaghah Ayat, semisal Kalimat كما كتب merupakan tasybih (penyerupaan) yang dinamakan tasybih Mursal  Mujmal , adapun penyerupaannya dalam kwajiban bukannya cara melakukannya. Lafadz فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ merupakan Majaz yang dibuang, adapun perkiraannya yaitu من كان مريضا فأفطر atau على سفر فأفطر. Lafadz وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ sebagian Ulama’ menyatakan bahwa tanda pada dhomir merupakan huruf nafi, maksudnya ialah لايطيقونه لكبرأو مرض لايرجى برؤه . lafadz اليسر.. و العسر  itu tempat penyangkalan.
Di antara Lathoifu Tafsirnya adalah  Ayat-ayat al-Qur’ān mengisyaratkan bahwa puasa adalah ibadahnya orang terdahulu, Allah Subānahu wa Ta’ālā telah mewajibkan berpuasa kepada umat-umat sebelum kita. Akan tetapi Ahli Kitab, mereka merubahnya dalam kwajiban ini dan  pastinya Ahli Kitab tersebut menyesuaikan keadaan yang sangat panas dan dingin. Firman Allah Subānahu wa Ta’ālā dalam surat 2:185. Ibnu ‘Abbas berkata bahwa ayat ini termasuk kategori lathoiful fashohah, karena ada syarat yang dibuang pada ayat tersebut, adapun perkiraannya adalah فأفطر فعدة من ايام أخر. Allah Subānahu wa Ta’ālā telah menjelaskan pada tengah ayat tersebut, bahwa puasa itu dapat menyalurkan ketaqwaan kepada Allah Subānahu wa Ta’ālā, adanya kwajiban puasa itu dapat menjelaskan Keutamaan-keutamaan yang besar dan tinggi hikmahnya. Puasa dapat terhindar keinginan-keinginan  yang dapat di perbolehkan, karena takut kepada Allah Subānahu wa Ta’ālā, melaksankan perintahnya dan menjauhi larangannya dan melakukan kesunahan untuk mencari pahala. Diberikan pendidikan itu bertujuan supaya memiliki ketaqwaan dengan cara meninggalkan syahwat yang yang haram. Puasa dapat menghancurkan atau mengurangi keinginan yang hati dan kemaluan.





Daftar Pustaka

Al-Qur’ān al-Karim
Hamid Abdul, Mufradātul al-Qur’ān, ttp: Dar. Al-Gharbi Al-Islami, 2002.
Abdullah Abu, Tafsir Al-Qurthubi, Kairo: Dar. Al-Kutub Al-Misriyyah, 1964.
Ath-Thabari Ja'far Abu, Jami' Al-Bayan fi Ta'wil Al-Qur'ān, ttp: Muassasah Ar-Risalah, 2000.
Az-Zuhaili, Tafsir Munir, Dimaskus: Dar. Al-Fikr al-Ma’ashir, 1418 H.
Muhammad Ali, Tafsīr Ayātil Ahkam, Beirut: Dar. Ibnu Ash-Shashah, 2010.
Ash-Shabuni Al-Jauzi Muhammad, Zādu Al-Musayyar fi Ilmi At-Tafsīr, Bairut: Dar. Al-Kutub Al-'Arabi, 1422.
Sunan Ibnu Majah
Al-Kurtubi Syamsuddin, Tafsīr Al-Kurthubī, Kairo: Dar. Al-Kutub Al-Misriyyah, 1964.
Zamakhsyari, Al-Kasyāf, Bairut: Dar. Al-Kutub Al-'Arabi, 1407 H.



[1] Sunan Ibnu Majah
[2] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsīr Ayātil Ahkam, (Beirut: Dar. Ibnu Ash-Shashah, 2010), h. 133.
[3] Abu Abdullah, Tafsir Al-Qurthubi, Juz 2 (Kairo: Dar. Al-Kutub Al-Misriyyah, 1964), h. 281.
[4] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayatil Ahkam, h. 133.
[5] Abdul Hamid, Mufradātul Al-Qur’an, (tp: Dar. Al-Gharbi Al-Islami, 2002), h. 386.
[6] Zamakhsyari, Al-Kasyāf, Juz 4, (Bairut: Dar. Al-Kutub Al-'Arabi, 1407 H), h. 227.
[7] Syamsuddin Al-Kurtubi, Tafsīr Al-Kurthubī, juz 2 (Kairo: Dar. Al-Kutub Al-Misriyyah, 1964) h. 291.
[8] Syamsuddin Al-Kurtubi, Tafsīr Al-Kurthubī, h. 315.
[9] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayatil Ahkam, h. 135.
[10] Muhammad Al-Jauzi, Zādu Al-Musayyar fi Ilmi At-Tafsīr, (Bairut: Dar. Al-Kutub Al-'Arabi, 1422), h.151.
[11] Abu Ja'far Ath-Thabari, Jami' Al-Bayan fi Ta'wil Al-Qur'ān, Juz 3 (ttp: Muassasah Ar-Risalah, 2000), h. 418.
[12] Syamsuddin Al-Qurthubi, Tafsīr Al-Qurthubi, Juz 2, (Kairo: Dar. Al-Kutub Al-Misriyyah, 1964), h. 287
[13] Syamsuddin Al-Kurthubi, Tafsīr Al-Kurthubī, h. 183.
[14] Puasa tanggal sepuluh dalam bulan Dzulhijjah.
[15] Abu Ja'far Ath-Thabari, Jami' Al-Bayan fi Ta'wil Al-Qur'ān, h. 419.
[16] HR. Imam Bukhori Muslim dan Ath-Thirmidzi dari Salamah bin Al-Aku’
[17] Az-Zuhaili, Tafsir Munir, juz 2 (Dimaskus: Dar. Al-Fikr al-Ma’ashir, 1418 H), h. 127-128.
[18] Tasybih mursal adalah tasybih yang adat tasybihnya disebutkan, contoh :
أَنَا كَالمَاءِ إنْ رَضِيتُ صَفَاءًا وَإذَا مَا سَخِطْتُ كُنْتُ لَهِيبًا
Huruf yang bergaris bawah adalah salah satu adat tasybih yakni كَ
[19] Tasybih mujmal adalah tasybih yang tidak disebutkan wajah syibhnya, contoh:
وَكَأَنَّ الشَمْسَ المُنِيرةَ دِينَارٌ جَلَّتهُ حَدَائِدَ الضَرَائِبِ
“Matahari yang bersinar itu bagaikan dinar yang tampak kuning cemerlang yang ditempa besi cetakannya”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar