TAFSIR AYAT PUASA
DALAM
SURAT
AL-BAQARAH AYAT 183-187
Makalah Revisi
Diajukan
Guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah
Tafsir Ibadah
Dosen
Pengampu:
Agus
Salim, Lc., M.Th.I.
Disusun
oleh:
Choiruddin
2014.01.01.320
Muhammad Fachri Dzulfikar
2014.01.01.272
JURUSAN USHULUDDIN
PROGRAM STUDI ILMU QUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
SARANG REMBANG
SARANG REMBANG
2016
TAFSIR
AYAT
PUASA DALAM
SURAT AL-BAQARAH AYAT 183-187
Oleh: Choiruddin dan
I. Pendahuluan
Puasa merupakan tempat pembinaan bagi setiap muslim untuk membina dirinya,
di mana masing-masing mengerjakan amalan yang dapat memperbaiki jiwa,
meninggikan derajat, memotivasi untuk mendapatkan hal-hal yang terpuji dan
menjauhkan diri dari hal-hal yang merusak. Juga memperkuat kemauan, meluruskan
kehendak, memperbaiki fisik, menyembuhkan penyakit, serta mendekatkan seorang
hamba kepada Rabb-nya.
Dengannya pula berbagai macam dosa dan kesalahan akan diampuni, berbagai
kebaikan akan semakin bertambah, dan kedudukan pun akan semakin tinggi.
Allah Subḥānahu wa Ta’ālā telah mewajibkan bagi kaum muslimin untuk
menjalankan puasa sepanjang bulan Ramadhan, bulan tersebut merupakan sayyidusy
syuhuur (penghulu bulan-bulan lainnya), padanya dimulai penurunan al-Qur’ān.
Bulan Ramadhan merupakan bulan ketaatan, pendekatan diri, kebajikan, kebaikan,
sekaligus sebagai bulan pengampunan, rahmat dan keridhaan.
Sabda
Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي
سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَقَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا،
غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ» " [1]
”Dari Abī Hurairah, berkata: Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam telah bersabda: “barang siapa puasa ramadhan dan menyambutnya dengan rasa
iman dan mengharapkan pahala, maka Allah Subḥānahu wa Ta’ālā akan
mengampuninya dari dosa-dosa yang sudah lewat” (HR. Sunan Ibnu Majah).
II. Ayat Puasa
A. Surat
al-Baqarah 2:183-187
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن
قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٨٣﴾ أَيَّامًا
مَّعْدُودَاتٍ ۚ
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ ۚ
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا
فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ ۚ
وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ
إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿١٨٤﴾ شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ
الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ
سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ
وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا
اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿١٨٥﴾ وَإِذَا سَأَلَكَ
عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ
أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا
بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ ﴿١٨٦﴾ أُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ
وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ
عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ
وَعَفَا عَنكُمْ ۖ
فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ
يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ
الْفَجْرِ ۖ
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ
عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ ﴿١٨٧﴾
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa [183]. Yaitu
beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam
perjalanan (lalu tiak berpuasa) maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang ia
tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat
menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberikan makan kepada
seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,
maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahuinya [184]. Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan
al-Qur’ān, sebagai petunjuk bagi manusia dan pennjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (diantara yang benar dan yang bathill). Karena itu,
barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa
sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya)
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā menghendaki mudah bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangan-Nya dan mengagungkan
Allah Subḥānahu wa Ta’ālā atas petuunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur [185]. Dan apabila hamba-hambaku
bertanya padamu (Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam) tentang aku, maka sesungguhnya aku dekat. Aku kabulkan
permohonan orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepadaku. Hendaklah mereka itu
memenuhi (perintah)-ku dan beriman kepada-ku, agar mereka memperoleh kebenara
[186]. Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka
adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā mengetahui bahwa
kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima taubatmu dan
memaafkanmu. Maka sekarang campuurilah mereka dan carilah apa yang telah
ditetapkan oleh Allah Subḥānahu wa Ta’ālā bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu
(perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar, kemudian
sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka,
ketika kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah Subḥānahu wa Ta’ālā menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka
bertakwa [187].
B. Mufradat Ayat
الصِّيَامُ
|
Kalimat Ash-Shiyam secara bahasa ialah mencegah
dari sesuatu dan meninggalkannya. Menurut Ar-Raghib, Ash-Shaum adalah
mencegah perbuatannya dari makan, bicara, berjalan. Abu Ubaidah berkata:
“Setiap orang yang mencegah dari makan, bicara, perjalanan maka ia ialah orang yang
berpuasa”[2].
|
فَعِدَّةٌ
|
Kalimat Fa’idatun, menurut Ar-Raghib Al-‘Idatun
ialah sesuatu yang dihitung, maksudnya
hari-hari yang dihitung dalam puasa bulan Ramadhan. Imam Qurthubi
berkata: “kata Al-‘Idatu berasal dari kata Al-‘Iddu bermakna
yang hitung[3].
|
اُخَرَ
|
Kalimat Ukhara jama’ dari kata Ukhra yang
artinya hari-hari yang lain. Menurut pendapat imam Kisāi bahwa kata itu
dicegah dari perubahan (Ash-Sharfu) karena kata tersebut bersekutu
dengan kata ākhar. [4]
|
يُطِيقُونَهُ
|
Kalimat Yutīqūnahu maksudnya ialah mereka yang
berpuasa dengan menanggung beban atau kesulitan. Ibnu Mandzur berkata: Al-Ithāqah
yaitu berpuasa semampunya. Ar-Raghib berkata: Ath-Thāqah adalah
penyebutan bagi orang yang mampu terhadap sesuatu yang kemunngkinan baginya
untuk melakukannya dengan menanggung beban[5].
|
فِدْيَةٌ
|
Kalimat fidyatun yaitu
sesuatu penebusan seseorang terhadap dirinya sendiri dengan menggunakan harta
atau selainnya karena penyebab dirinya menringkas ibadahnya dengan ibadah
yang lain, hal itu menyerupai kafarah dari sebagian macam-macamnya.
|
شَهْرُ
|
Kalimat Syahrun maksudnya
ialah bulan yang diketahui, dinamakan Asy-Syahrun karena bulan bagi
seseorang untuk melaksanakan ibadah dan bermu’amalah.
|
رَمَضَانَ
|
Kalimat Ramadhan yaitu
Ar-Ramdhu bermakna sangat panasnya matahari, dinamakan Ramadhan karena
bulan ini membakar dosa-dosa perbuatan manusia. Az-Zamakhsari berkata sewaktu
para ulama memindah beberapa nama-nama bulan maka mereka menamakan dengan
bulan yang jatuh didalamnya, dan bulan ini mencocoki hari-hari sangat panas
maka bulan ini dinamakan bulan Ramadhan[6]. Dikatakan bahwa
dinamakan Ramadhan karena bulan Ramadhan bisa menghapus dosa-dosa dengan cara
melakukan perbuatan-perbuatan yang baik[7].
|
الرَّفَثُ
|
Lafadz Al-Rafatsu yaitu Jima’, menurut
Ar-Raghib bahwa Al-Rafatsu
ialah pembicaraan yang mengandung suatu yang dianggap jelek
mengucapkannya dari jima’. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā menjadikan kinayah
dari jima’ di dalam firmannya yaitu:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ
الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ
Sebagai pengingat diperbolehkannya mendekati
istri-istrinya untuk melakukan jima’
dan berbicara kepada mereka. Menurut Ibnu Abbas bahwa Al-Raftsu adalah
jima’, Sesungguhnya Allah Subḥānahu wa Ta’ālā maha mulia dan maha kasih sayang[8].
|
تَخْتَانُونَ
|
Kalimat takhtānūna yaitu Al-Ikhtiyānu dari
lafadz Al-Khiyānat. Menurut orang ‘Arab Al-Khiyānat merupakan kebalikan dari amanah. Ar-Raghib
berkata: Al-Khiyānat bertolakan dengan amanah. Al-Ikhtiyānu ialah
berusaha untuk berkhianat, tidak boleh berkata تخونون أنفسكم karena itu tidak ada khiyanat
bagi mereka akan tetapi mereka berusaha untuk berkhianat, keinginan manusia
untuk melakukan perbuatan khianat.[9]
|
عَاكِفُونَ
|
Kalimat ‘Ākifūn yaitu Al-‘Itikāf yang
artinya menetap. Dikatakan عكفت
بالمكان maksudnya yaitu saya menetap
disuatu tempat. Allah Subḥān ahu wa Ta’ālā, berfirman dalam surat
Thāha 91:
قَالُوا لَن
نَّبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِينَ حَتَّىٰ يَرْجِعَ إِلَيْنَا مُوسَىٰ ﴿٩١﴾
Tetapi mereka berkata, "Kami akan tetap
menyembah anak sapi ini sampai Mūsā kembali kepada kami."(91)
Sedangkan secara
istilah adalah berdiam atau tinggal didalam masjid untuk melakukan ibadah
kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā dengan niat
mendekatkan diri kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā
|
حُدُودُ
اللَّهِ
|
Kalimat Hudūdullah, lafadz Al-Hudūd jama’
dari lafadz Haddun secara bahasa adalah mencegah, dinamakan Al-Hadīd
karena mencegagah sesuatu dari
penyakit. Az-Zujaj berkata bahwa Al-Hudūd ialah sesuatu yang Allah Subḥānahu wa Ta’ālā melarang atau mencegah
dari makhluk-makhluk-Nya maka tidak boleh bertemuan[10].
|
C. Qira’āh ayat
1.
Mayoritas ulama membaca (وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ) [Qs. al-Baqoroh: 184]. Sedangkan Ibnu
‘Abbās membaca ( يُطَوّقُونَهُ )[11].
2.
Mayoritas ulama membaca (فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ
)[Qs. al-Baqoroh: 184]. Sedangkan Nafi’ dan Ibnu Āmir membaca (فِدْيَةُ
طَعَامِ مسَاكِينٍ ) denan
menjama’kan kalimat masākīn, dan mengidofahkan kalimat fidyatun tehadap
tha’ām.[12]
3.
Mayoritas ulama membaca (فَمَن
تَطَوَّعَ )
[Qs. Al-Baqoroh: 184] dengan menggunakan fi’il madhi. Sedangkan Ibnu Hamza dan
Kisa’i membaca (فَمَن تَطَوَّعَ ) dengan menggunakan fi’il mudhorek[13].
4.
Mayoritas ulama membaca
( وَلِتُكْمِلُوا
الْعِدَّةَ )
[Qs. Al-Baqoroh: 185] dengan cara di tahfif. Sedangkan Abu Bakar dari ‘Ashim
membaca ( وَلِتُكَمّلُوا
الْعِدَّةَ )
dengan cara di tasdid.
D. Sebab Turunnya Ayat
1.
Hadis yang diriwayatkan
oleh Ibnu Jarir dari Mu’ād bin Jabal RA bahwa dia berkata: “Bahwa Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa
Sallam datang ke Kota Madinah
kemudian dia berpuasa hari ‘Āsyura’[14],
dan puasa tiga hari setiap bulan. Kemudian Allah Subḥānahu wa Ta’ālā mewajibkan puasa bulan Ramadhan. Kemudian Allah Subḥānahu wa Ta’ālā menurunkan Surat Al-Baqoroh ayat 183, yaitu:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن
قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٨٣﴾ أَيَّامًا
مَّعْدُودَاتٍ ۚ
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ ۚ
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا
فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ ۚ
وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ
إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿١٨٤﴾
Kemudian barangsiapa yang mampu puasa maka berpuasalah dan barangsiapa yang
ingin bermukah maka berbukahlah dan memberikan makan kepada orang-orang miskin.
Kemudian Allah Subḥānahu wa Ta’ālā mewajibkan puasa
bagi orang yang sehat yang mampu untuk berpuasa. Dan menetapkan berbuka bagi
orang tua yang tidak mampu berpuasa. Kemudian Allah Subḥānahu wa Ta’ālā menurunkan Surat Al-Baqoroh ayat: 185
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ[15]
2.
Hadis yang diriwayatkan
oleh Salamah, bahwa ia berkata: sewaktu ayat ini turun ayat 184 (وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ). barangsiapa yang mampu
berpuasa, maka berpuasalah. Barangsiapa yang berpuasa dan mengharapkan
keutamaan atas melakukannya itu hingga turun ayat ini setelah saya menasakhnya
dengan ayat 185 (فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ )[16].
3.
Hadis yang diriwayatkan
oleh orang Arab, mereka bertanya kepada Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa
Sallam perkara apa yang menjadi
dekat dengan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā sehingga kita dapat
mengambil keberuntungan dari itu? Atau menjauhinya? Kemudian turunlah ayat 186 (وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ).
E. Status I’rab Ayat
Kalimat كما
كتب , kaf
pada kalimat ini di baca nasab dan statusnya adakalanya sebagai sifat dari
masdar yang dibuang, adapun perkirannya yaitu كتب
عليكم الصيام كتابة كما كتب dan ما nya adalah maa masdariah maksudnya مثل
كتابته dan ada kalanya statusnya sebagai hal dari الصيام
adapun perkirannya yaitu كتب
عليكم الصيام مشبها كما كتب. Lafadz أياما معدودات dibaca nashob dengan mengira-ngirakan kalimat
fi’il., adapun perkiraannya yaitu أياما معدودات صوموا . kemudian lafadz صوموا di
buang karena menunjukan كتب عليكم الصيام baginya dan tidak boleh
menashobkannya dengan lafadz الصيام karena adanya pemisah lain diantaranya dan diantara
penyambungnya yaitu lafadz كما كتب. Lafadz وان
تصوموا statusnya sebagai
mubtada’ dan khobarnya yaitu lafadz خير
لكم.
Lafadz فعدة من أيام أخر statusnya mubtada’, adapun
khobarnya dikira-kirakan yaitu lafadz فعليه
عدة من أيام أخر. Lafadz
من أيام statusnya sebagai sifat terhadap lafadz عدة
yang di baca rafa’. Lafadz أخر merupakan jama’ dari lafadz أخرى
yang mengikuti wazan فعلى yang berfaidah litafdhil dan statusnya sebagai
sifat dari lafadz أيام. Lafadz فدية
statusnya sebagai mubtada’ sedangkan khobarnya yaitu lafadz وعلى
الذين يطيقونه.
Lafadz طعام مسكين statusnya sebagai badal dari lafadz
فدية dan lafadz مسكين
tidak dijama’kan karena kwajiban dalam permulaan islam yaitu adanya lafadz إطعام مسكين kemudian itu di nasakh dengan firman Allah Allah
Subḥānahu wa Ta’ālā yaitu فَمَن
شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ dan الطعام bermakna الإطعام. Lafadz شهر رمضان statusnya sebagai mubtada’ dan
khobarnya yaitu lafadz الذي أنزل فيه القرأن.
Lafadz هدى statusnya sebagai hal dari lafadz القرآن, maksudnya ialah sebagai petunjuk
bagi manusia. Lafadz بينات statusnya sebagai ‘athof darinya.
Lafadz الشهر
dibaca nashob dan statusnya sebagai dhorof, adapun pentakdirannya yaitu فمن شهد منكم الشهر في المصر karena sesungguhnya seorang
musaffir ketika melihat bulan (waktu datangnya puasa) maka tidak wajib puasa
baginya. lafadz ولتكملوا العدة
statusnya di ‘aathofkan terhadap lafadz yang dibuang, adapun perkiraannya yaitu
ليسهل عليكم ولتكملوا
العدة.[17]
F. Balaghah Ayat
Kalimat كما كتب merupakan tasybih (penyerupaan) yang dinamakan tasybih
Mursal[18]
Mujmal[19],
adapun penyerupaannya dalam kwajiban bukannya cara melakukannya. Lafadz فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ merupakan Majaz yang dibuang, adapun perkiraannya yaitu من كان مريضا فأفطر atau على سفر فأفطر. Lafadz وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ sebagian Ulama’ menyatakan bahwa tanda
pada dhomir merupakan huruf nafi, maksudnya ialah لايطيقونه لكبرأو مرض لايرجى برؤه . lafadz اليسر.. و العسر itu tempat penyangkalan.
G. Lathoifut Tafsir
1.
Ayat-ayat al-Qur’ān
mengisyaratkan bahwa puasa adalah ibadahnya orang terdahulu, Allah Subḥānahu wa Ta’ālā telah mewajibkan berpuasa kepada umat-umat sebelum kita.
Akan tetapi Ahli Kitab, mereka merubahnya dalam kwajiban ini dan pastinya Ahli Kitab tersebut menyesuaikan
keadaan yang sangat panas dan dingin.
2.
Firman Allah Subḥānahu wa Ta’ālā dalam surat 2:185. Ibnu ‘Abbas berkata bahwa ayat ini termasuk
kategori lathoiful fashohah, karena ada syarat yang dibuang pada ayat
tersebut, adapun perkiraannya adalah فأفطر فعدة من ايام أخر.
3.
Allah Subḥānahu wa Ta’ālā telah menjelaskan pada tengah ayat tersebut, bahwa puasa
itu dapat menyalurkan ketaqwaan kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, adanya kwajiban puasa itu dapat menjelaskan
Keutamaan-keutamaan yang besar dan tinggi hikmahnya. Puasa dapat terhindar
keinginan-keinginan yang dapat di
perbolehkan, karena takut kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, melaksankan perintahnya dan menjauhi larangannya dan
melakukan kesunahan untuk mencari pahala. Diberikan pendidikan itu bertujuan
supaya memiliki ketaqwaan dengan cara meninggalkan syahwat yang yang haram.
Puasa dapat menghancurkan atau mengurangi keinginan yang hati dan kemaluan.
III. Kasimpulan
Banyak orang yang menafsirkan mengenai surat
al-Baqoroh ayat 183-187, semisal: Ar-Raghib berpendapat bahwa Ash-Shaum adalah
mencegah perbuatannya dari makan, bicara, berjalan. Abu Ubaidah berkata:
“Setiap orang yang mencegah dari makan, bicara,
perjalanan maka ia ialah orang yang berpuasa”. Imam Qurthubi berkata:
“kata Al-‘Idatu berasal dari kata Al-‘Iddu bermakna yang hitung, dan penafsiran
ayat-ayat lainnya. Penafsiran demikian dipandang dari segi mufradatnya.
Kemudian dari segi Qira’āh ayat, dalam hal ini
mayoritas ulama berbeda pendapat mengenai qira'ah dalam ayat-ayat tersebut,
semisal Mayoritas ulama membaca (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ)
[Qs. al-Baqoroh: 184]. Sedangkan Ibnu ‘Abbās membaca ( يُطَوّقُونَهُ ), Mayoritas ulama
membaca (فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ )[Qs. al-Baqoroh: 184]. Sedangkan Nafi’ dan Ibnu Āmir
membaca (فِدْيَةُ
طَعَامِ مسَاكِينٍ ) denan menjama’kan kalimat masākīn, dan
mengidofahkan kalimat fidyatun tehadap tha’ām, Mayoritas ulama membaca (فَمَن تَطَوَّعَ
) [Qs. Al-Baqoroh: 184] dengan menggunakan fi’il madhi. Sedangkan Ibnu Hamza
dan Kisa’i membaca (فَمَن تَطَوَّعَ ) dengan menggunakan fi’il mudhorek, Mayoritas ulama
membaca ( وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
) [Qs. Al-Baqoroh: 185] dengan cara di tahfif. Sedangkan Abu Bakar dari ‘Ashim
membaca ( وَلِتُكَمّلُوا الْعِدَّةَ
) dengan cara di tasdid.
Sebab Turunnya Ayat, banyak riwayat yang mengenai
sebab-sebab turunnya ayat-ayat tersebut, misalnya: Hadis yang diriwayatkan oleh
Ibnu Jarir dari Mu’ād bin Jabal RA bahwa dia berkata: “Bahwa Rasulullah Ṣalla
Allah ‘Alaihy wa Sallam datang ke Kota Madinah kemudian dia berpuasa hari
‘Āsyura’ , dan puasa tiga hari setiap bulan. Kemudian Allah Subḥānahu
wa Ta’ālā mewajibkan puasa bulan Ramadhan. Kemudian Allah Subḥānahu
wa Ta’ālā menurunkan Surat Al-Baqoroh ayat 183, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ
الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٨٣﴾
أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ ۚ وَأَن
تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿١٨٤﴾
Kemudian barangsiapa yang mampu puasa maka berpuasalah dan barangsiapa yang
ingin bermukah maka berbukahlah dan memberikan makan kepada orang-orang miskin.
Kemudian Allah Subḥānahu wa Ta’ālā mewajibkan puasa bagi
orang yang sehat yang mampu untuk berpuasa. Dan menetapkan berbuka bagi orang
tua yang tidak mampu berpuasa. Kemudian Allah Subḥānahu
wa Ta’ālā menurunkan Surat Al-Baqoroh ayat: 185 فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ
Adapun Status I’rab Ayat, misalnya Kalimat كما كتب , kaf pada kalimat
ini di baca nasab dan statusnya adakalanya sebagai sifat dari masdar yang dibuang,
adapun perkirannya yaitu كتب عليكم الصيام كتابة كما كتب dan ما nya adalah maa masdariah maksudnya مثل كتابته dan ada kalanya statusnya sebagai hal dari الصيام adapun perkirannya yaitu كتب عليكم الصيام مشبها كما كتب.
Lafadz أياما
معدودات dibaca nashob dengan
mengira-ngirakan kalimat fi’il., adapun perkiraannya yaitu أياما معدودات صوموا . kemudian lafadz صوموا di buang karena
menunjukan كتب
عليكم الصيام baginya dan tidak boleh menashobkannya dengan lafadz الصيام karena adanya
pemisah lain diantaranya dan diantara penyambungnya yaitu lafadz كما كتب. dll.
Selain itu ada juga dari segi Balaghah Ayat,
semisal Kalimat كما
كتب merupakan tasybih (penyerupaan) yang dinamakan tasybih
Mursal Mujmal , adapun penyerupaannya
dalam kwajiban bukannya cara melakukannya. Lafadz فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ
سَفَرٍ merupakan Majaz yang dibuang, adapun perkiraannya yaitu من كان مريضا فأفطر
atau على سفر فأفطر.
Lafadz وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ sebagian Ulama’ menyatakan
bahwa tanda pada dhomir merupakan huruf nafi, maksudnya ialah لايطيقونه لكبرأو مرض لايرجى
برؤه . lafadz اليسر.. و العسر itu tempat
penyangkalan.
Di antara Lathoifu Tafsirnya adalah Ayat-ayat al-Qur’ān mengisyaratkan bahwa
puasa adalah ibadahnya orang terdahulu, Allah Subḥānahu
wa Ta’ālā telah mewajibkan berpuasa kepada umat-umat sebelum kita. Akan tetapi
Ahli Kitab, mereka merubahnya dalam kwajiban ini dan pastinya Ahli Kitab tersebut menyesuaikan
keadaan yang sangat panas dan dingin. Firman Allah Subḥānahu
wa Ta’ālā dalam surat 2:185. Ibnu ‘Abbas berkata bahwa ayat ini termasuk
kategori lathoiful fashohah, karena ada syarat yang dibuang pada ayat tersebut,
adapun perkiraannya adalah فأفطر فعدة من ايام أخر. Allah Subḥānahu
wa Ta’ālā telah menjelaskan pada tengah ayat tersebut, bahwa puasa itu dapat
menyalurkan ketaqwaan kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, adanya
kwajiban puasa itu dapat menjelaskan Keutamaan-keutamaan yang besar dan tinggi
hikmahnya. Puasa dapat terhindar keinginan-keinginan yang dapat di perbolehkan, karena takut
kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, melaksankan perintahnya
dan menjauhi larangannya dan melakukan kesunahan untuk mencari pahala.
Diberikan pendidikan itu bertujuan supaya memiliki ketaqwaan dengan cara
meninggalkan syahwat yang yang haram. Puasa dapat menghancurkan atau mengurangi
keinginan yang hati dan kemaluan.
Daftar
Pustaka
Al-Qur’ān al-Karim
Hamid Abdul, Mufradātul al-Qur’ān, ttp: Dar. Al-Gharbi Al-Islami, 2002.
Abdullah Abu, Tafsir Al-Qurthubi,
Kairo: Dar. Al-Kutub Al-Misriyyah, 1964.
Ath-Thabari Ja'far Abu, Jami' Al-Bayan fi
Ta'wil Al-Qur'ān, ttp: Muassasah Ar-Risalah, 2000.
Az-Zuhaili,
Tafsir Munir, Dimaskus: Dar. Al-Fikr al-Ma’ashir, 1418 H.
Muhammad
Ali, Tafsīr Ayātil Ahkam, Beirut: Dar. Ibnu Ash-Shashah, 2010.
Ash-Shabuni Al-Jauzi Muhammad, Zādu
Al-Musayyar fi Ilmi At-Tafsīr, Bairut: Dar. Al-Kutub Al-'Arabi, 1422.
Sunan Ibnu Majah
Al-Kurtubi
Syamsuddin, Tafsīr Al-Kurthubī, Kairo: Dar. Al-Kutub Al-Misriyyah, 1964.
Zamakhsyari, Al-Kasyāf,
Bairut: Dar. Al-Kutub Al-'Arabi, 1407 H.
[1] Sunan Ibnu Majah
[2]
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsīr
Ayātil Ahkam, (Beirut: Dar. Ibnu Ash-Shashah, 2010), h. 133.
[4]
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir
Ayatil Ahkam, h. 133.
[6]
Zamakhsyari, Al-Kasyāf, Juz 4, (Bairut: Dar. Al-Kutub Al-'Arabi, 1407
H), h. 227.
[7] Syamsuddin
Al-Kurtubi, Tafsīr Al-Kurthubī, juz 2 (Kairo: Dar. Al-Kutub
Al-Misriyyah, 1964) h. 291.
[8]
Syamsuddin Al-Kurtubi, Tafsīr Al-Kurthubī, h. 315.
[9]
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir
Ayatil Ahkam, h. 135.
[10]
Muhammad Al-Jauzi, Zādu Al-Musayyar fi Ilmi At-Tafsīr, (Bairut: Dar.
Al-Kutub Al-'Arabi, 1422), h.151.
[11]
Abu Ja'far Ath-Thabari, Jami' Al-Bayan fi Ta'wil Al-Qur'ān, Juz 3 (ttp:
Muassasah Ar-Risalah, 2000), h. 418.
[12]
Syamsuddin Al-Qurthubi, Tafsīr Al-Qurthubi, Juz 2, (Kairo: Dar. Al-Kutub
Al-Misriyyah, 1964), h. 287
[14]
Puasa tanggal sepuluh dalam bulan
Dzulhijjah.
[15]
Abu Ja'far Ath-Thabari, Jami' Al-Bayan fi Ta'wil Al-Qur'ān, h. 419.
[16]
HR. Imam Bukhori Muslim dan
Ath-Thirmidzi dari Salamah bin Al-Aku’
[17]
Az-Zuhaili, Tafsir Munir, juz
2 (Dimaskus: Dar. Al-Fikr al-Ma’ashir, 1418 H), h. 127-128.
[18]
Tasybih mursal adalah tasybih yang adat tasybihnya disebutkan, contoh :
أَنَا كَالمَاءِ إنْ رَضِيتُ صَفَاءًا وَإذَا مَا سَخِطْتُ
كُنْتُ لَهِيبًا
Huruf yang bergaris bawah
adalah salah satu adat tasybih yakni كَ
[19]
Tasybih mujmal adalah tasybih yang tidak disebutkan wajah syibhnya, contoh:
وَكَأَنَّ الشَمْسَ المُنِيرةَ دِينَارٌ جَلَّتهُ حَدَائِدَ
الضَرَائِبِ
“Matahari
yang bersinar itu bagaikan dinar yang tampak kuning cemerlang yang ditempa besi
cetakannya”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar