Selasa, 22 September 2015

Makalah 'Ulum Al-Qur'an

MAKALAH ‘ULUM AL-QUR’AN SEMESTER 2
Oleh: Muhammad Fachri Dzulfikar
NIM : 2014.01.01.272
I.          Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril. Kedudukan Al-Qur’an sangat tinggi dan merupakan sumber pertama dan utama dalam ajaran Islam, sebagai panduan hidup umat islam. Al-Qur’an memberikan penerangan terhadap kehidupan manusia, bagaikan pelita yang memberikan cahaya kearah hidayah ma’rifah. Al-Qur’an juga adalah kitab hidayah dan ijaz (melemahkan yang lain). Ayat-ayatnya tentu ditetapkan kemudian diperinci dari allah Swt, yang maha bijaksana dan maha mengetahui.
Al-Qur’an memiliki prinsip-prinsip ajaran yang sempurna dan universal. Konsekwensi logis dari pengakuan dan keyakinan tersebut, pesan-pesan yang terkandung di dalamnya berlaku dan relevan sepanjang zaman.
II.                Pengertian ‘Ulum Al-Qur’an
Ulumul Qur’an merupakan istilah yang terbentuk dari dua buah kata yang di gabungkan (kalimah idhofiyyah), yaitu kata ulum dan kata al-Qur’an. Dalam bahasa Arab, ‘ulum merupakan bentuk plural (jamak) dari kata al-‘ilm ((العلم yang bisa bermakna pengetahuan,paham atau yakin. Sedangkan makna al-‘ilm yang dikehendaki disini adalah paham atau pengetahuan. Secara sekilas, ‘ulum al-Quran adalah semua hal tentang ilmu pengetahuan yang berhubunan dengan al-Qur’an, baik itu berasal dari al-Qur’an sendiri maupunan berasal dari luar al-Qur’an.[1]
            Menurut muhammad ‘Abd ‘Adzim al-Zarqany:
علوم القرأن هو مباحث تتعلق باللقرأن الكريم من ناحيه نزوله وترتيبه وجمعه وكتابته وقرأته وتفسيره وإعجازه وناسخه ومنسوخه ودفع الشبه عنه وغيررذالك.
“ ‘Ulumul Qur’an ialah segala macam pembahasan yang berkaitan dengan al-Qur’an al-Karim, baik segi turunnya, urutan-urutannya, pengumpulannya, pengkodisifikasinya, bacaannya, penafsirannya, i’jaznya, nasikh mansukhnya, penolakan terhadap hal-hal yang menimbulkan kesangsian al-qur’an dan lain-lain.”
Dari pengertian dasar ini, pengertian ‘ulum al-Qur’an sebagai sebuah disiplin ilmu atau pengertian secara istilah adalah suatu  ilmu yang membahas tantang ilmu-illmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan al-Qur’an, seperti wahyu, turunnya al-Qur’an (nuzul al-Qur’an), awal dan akhir ayat yang diturunkan, makki madani, nasikh-mansukh, kronologi turunnya ayat, kemukjizatan al-Qur’an, keadaan lafaz-lafaz al-Qur’an (seprti ‘am-khash, muthlaq-muqayyad, muhkam-mutasyabih) dan lainnya.[2]
            Terkadang ‘ulum al-Qur’an juga bisa dikatakan ushul al-tafsir (dasar-dasar tafsir), karena melihat pembahasan di dalamnya yang berkaitan dengan masalah-masalah yang harus diketahui oleh seorang penafsir sebagai pijakan untuk menafsirkan al-Qur’an.[3]
            Adapun tentang ilmu-ilmu kealaman, seperti ilmu pengetahuan alam dan ilmu-ilmu yang melulu bertalian dengan iptek (ilmu pengetahuan dan tekhnologi) semisal matematika, kimia, astronomi, teknik, Ilmu-ilmu ekonomi dan kemasyarakatan yang lain, tampaknya kurang pada tempatnya untuk digolongkan ke dalam ilmu-ilmu al-Qur’an.[4] Meskipun secara tekstual dan faktual semuanya disinggung dalam al-Qur’an. Demikian kata al-Zarqāni.sebab, seperti dinyatakan al-Qur’an sendiri, tujuan utama dan pertama dari penurunan al-Qur’an memang sebagai kitab hidayah (buku petunjuk hidup) bagi umat manusia umumnya dan mukmin khususnya.
الم . ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Alif Laam Miim. Itulah al-Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 1-2)
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS Al-Baqarah [2]: 185)
            Masih banyak lagi ayat al-Qur’an yang menegaskan fungsi al-Qur’an sebagai hudan (petunjuk,pedoman) bagi orang-orang yang beriman atau semua manusia pada umumnya.
III.             Sejarah ‘Ulum Al-Qur’an
Nama ‘ulum al-Qur’an muncul pada abad ke-3 H, akan tetapi pada saat itu ‘ulum al-Qur’an dikenal sebagai sebuah nama saja, bukan sebagai disiplin ilmu. Hal ini bisa dibuktikan dengan pertanyaan Harun al-Rasyīd, seorang kholifah dari dinasti Abbasiyah kepada Imam Syafi’i tentang pengetahuaannya terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an.[5]
            Benih dari munculnya studi ilmu-ilmu al-Qur’an ini sebenarnya bersamaan dengan kemunculan al-Qur’an itu sendiri. Saat masih bersama Nabi Saw, para sahabat mengenal berbagai macam ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an, seperti asbāb al-nuzul, makki madani, nasikh mansukh, dan lainnya. Dikarenakan para sahabat adalah termasuk orang-orang yang kuat momori hafalannya dan memiliki keistimewaan yang mumpuni dalam memahami bahasa Arab, para sahabatpun merasa belum perlu untuk menuliskan hal-hal yang berkaitan dengan al-Qur’an seperti tafsir dan ilmu-ilmu al-Qur’an lainnya. Selain itu, Nabi Saw juga melarang para sahabat untuk menulis sesuatu selain al-Qur’an.[6]   Ketika para sahabat merasa kesulitan dalam memahami sesuatu yang berhubungan dengan al-Qur’an, mereka langsung menanyakan kepada Nabi Saw, kemudian Nabi Saw menjelaskan. Dari situlah para sahabat mendapatkan pengetahuan luas tentang al-Qur’an. Diantara para sahabat yang paling pandai mengenai ilmu-ilmu al-Qur’an adalah Ibn Mas’ud, khususnya tentang ilmu asbāb al-nuzul, makki-madani dan ilmu tentang bacaan al-Qur’an (qirā’at).[7]
            Setelah wafatnya Nabi Saw, islam mulai melebarkan sayapnya keluar wilayah jazirah Arab. Beberapa problem seputar al-Qur’anpun muncul pada saat itu, mulai dari masalah bacaan sampai masalah penafsiran al-Qur’an. Hal ini mendorong para sahabat untuk melakukan langkah langkah preventif (pencegahan) sebagai upaya untuk menghindari perpecacahan lebih jauh di dalam umat islam. Pada masa kepemimpinan Khalifah ‘Utsmān bin ‘Affān memprakarsai dan mengenalkan dasar penulisan al-Qur’an yang bertujuan untuk menyeragamkan penulisan al-Qur’an. Penulisan al-Qur’an oleh sahabat ‘Utsmān ini dianggap sebagai awal dari ilmu tentang tulisan al-Qur’an yang kemudian hari dikenal dengan nama ‘Ilm Rasm al-Qur’an atau ‘Ilm al-Rasm al-‘Utsmāni.[8]
Ilmu gramatika (nahwu) muncul pada masa ‘Ali abi Thālib. Saat kepemimpinan berada di bawah kekuasaannya, beliau menugaskan al-Aswad al-Du’ali[9] untuk membuat kaidah-kaidah kebahasaan yang kemudian dikenal dengan ilmu gramatika (nahwu), sebagai upaya untuk melindungi pemahaman terhadap bahasa al-Qur’an.[10]
Pada saat Bani umayyah berkuasa,kebijakan pembukuan dan penulisan berbagai macam ilmu pengetahuan mulai meluas.  ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz, seorang khalifah dari Bani Umayyah di penghujung abad pertama hijriah, membuat kebijakan dengan memerintahkan para ulama untuk mengumpulkan hadits-hadits Nabi Saw. Dan mengklasifikasikan antara hadits yang shahih dengan yang lainnya.[11] Kebijakan ini didasari oleh kekhawatiran akan lenyapnya hadis-hadis Nabi Saw bersamaan dengan meninggalnya para ulama. Saat kekuasaan berpindah ke Bani Abbasiyah, geliat tulis menulis mulai meluas dan merambah ke semua ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab, bahkan hingga ke ilmu filsafat.[12]  Ilmu-ilmu al-Qur’an selain terdapat di dalam kitab-kitab hadis sebagaimana halnya tafsir,juga mulai dibukukan dalam kitab tersendiri yang memang menkonsentrasikan diri dalam pembahasannya terhadap beberapa ilmu-ilmu al-Qur’an.
IV.       Nuzulul Qur’an
Arti kata nuzul diambil dari نزل – ينزل – نزول  yang artinya turun.[13] Akan tetapi para ulama berbeda pendapat mengartikan kata nuzul tersebut. Imam al-Raghib al-Asfahani mengartikan kata nuzul dengan arti “meluncur dari atas ke bawah yang berarti turun”.[14]
Waktu Turunnya Al-Qur’an
Secara tradisi, umat islam memperingati dan menyambut peristiwa Nuzul al-Qur’an pada 17 Ramadhan, padahal dalam sejarahnya yang patut dibuat sambutan pada setiap 24 Ramadhan.
            Pendapat yang mengatakan berlakunya pada 17 Ramadhan adalah berdasarkan ayat ke-41 dari surah al-Anfal. Padahal, surah ini hanya difokuskan kepada peristiwa perang Badar bukan turunnya al-Qur’an. Secara tafsir, menurut riwayat dari Ibn Abbas, ayat tersebut hanya penjelasan tentang hukum pembagian harta rampasan perang seperti yang terdapat pada awal ayat tersebut[15] yang artinya sebagai berikut: “ketahuilah sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, RasiNya, kerabat-kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil (orang yang sedang dalam perjalanan).” Justru tarikh yang lebih tepat tentang Nuzulal-Qur’an adalah pada 24 Ramadhan karena didasarkan ayat 1 surah al-Qadr dan ayat 1-4 surah al-Dukhan.
Proses Penurunan Al-Qur’an
            Ada beberapa pendapat mengenai proses penurunan Al-Qur’an dari Allah sampai kepada Nabi Muhammad. Perbedaan pendapat tersebut pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu:
            Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa Al-Qur’an diturunkan sekaligus (dari awal sampai akhir) ke langit dunia pada malam al-Qadar. Kemudian sesudah itu diturunkan secara berangsur-angsur dalam tempo 20, 23 atau 25 tahun sesuai dengan perbedaan pendapat diantara sesama mereka.[16]
            Kedua, golongan yang berpendirian bahwa Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia bagian demi bagian (tidak sekaligus) pada setiap malam Al-Qadar karena tidak ada kesepakatan di kalangan kelompok ini. Jadi, menurut mereka, setiap datang malam al-Qadar pada setiap Ramadhan, bagian tertentu Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia sekedar kebutuhan untuk selama satu tahun, sampai ketemu malam al-Qadar tahun berikutnya. Menurut pendapat ini, penurunan Al-Qur’an bagaikan sistem paket yang dilakukan sekali dalam satu tahun, tepatnya setiap malam al-Qadar.[17]
            Ketiga, aliran yang menyimpulkan bahwa Al-Qur’an itu untuk pertama kali diturunkan pada malam al-Qadar sekaligus, dari lauh mahfudz ke bait al-‘Izzah dan kemudian setelah itu diturunkan sedikit demi sedikit dalam berbagai kesempatan sepanjang masa-masa kenabian/kerasulan Muhammad Saw.
            Berkenaan dengan proses penurunan Al-Qur’an, al-Zarqāni menyebutkan tiga macam tahapan:[18]
            Tahapan pertama, Al-Qur’an diturunkan Allah ke Lauh al-mahfuzh, sesuai dengan ayat:
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ. فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ
Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur'an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.” (QS Al-Buruj [85]: 21-22)
            Al-Zarqāni tidak menyinggung lebih jauh tentang penurunan Al-Qur’an ke lauh al-Mahfuzh ini. Ia hanya menyatakan bahwa kapan persisnya Al-Qur’an diturunkan ke Lauh al-Mahfuzh dan bagaimana caranya, tidak bisa diketahui dengan pasti selain Allah sendiri. Ia menambahkan bahwa rahasia penurunan Al-Qur’an kepada Nabi secara pasti tidak bisa di rekayasa dengan akal.
            Tahapan kedua, Al-Qur’an diturunkan dari Lauh Mahfuzh ke Bait al-Izzah di langit dunia, sesuai dengan beberapa ayat :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS Al-Dukhan [44]: 3).
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan.” (QS Al-Qadar [97]: 1)
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
“Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an.” (QS Al-Baqarah [2]: 185)
            ketiga ayat tersebut menegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada suatu malam yang dinamakan Lailah Mubarakah dan Lailah al-Qadar, yang terjadi pada bulan Ramadhan.
Hikmah diturunkannya al-Qur’an dari lauh mahfuzh ke bait al-Izzah
a.       Menunjukkan kehebatan dan kemukjizatan Al-Qur’an yang tidak diturunkan seperti kitab suci lainnya.
b.      Menjelaskan kebesaran Nabi Muhammad Saw, sebagai penerima wahyu yang tidak sekali terima.
c.       Memberitahukan kepada malaikat dan para nabi serta Rasul terdahulu mengenai kemuliaan dan ketinggian Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir.[19]
            Tahapan ketiga atau terakhir, Al-Qur’an diturunkan dari Bait al-‘Izzah kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan perantara malaikat jibril, seperti tertera dalam ayat:
نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ . عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ
”Dia (Al-Qur’an) dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.” (QS Al-Syu’ara [26]: 193-194).
V.                Ayat yang pertama dan Terakhir turun
Dalam pembahasan surat/ayat apa yang pertama kali turun, para ulama mempunyai banyak pendapat, diantaranya:
Yang turun pertama
1.                  Pendapat yang shahih mengenai yang pertama kali turun ialah firman Allah:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ, خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ , اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ, الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ ,عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al-‘Alaq [96]:1-5).
Pendapat tersebut didasarkan pada suatu hadits yang diriwayatkan oleh dua syaik ahli hadits dan yang lain, dari Aisyah r.a, yang mengatakan: “Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi bagi Rasulullah Saw adalah mimpi yang benar di waktu tidur. Dia melihat mimpi itu datangnya bagaikan terangnya pagi hari. Kemudian dia suka menyendiri. Dia pergi ke gua Hira untuk beribadah beberapa malam. Di gua Hira dia terkejut oleh suatu kebenaran. Seorang malaikat datang kepadanya dan mengatakan: “Bacalah!” .Rasulullah menceritakan, maka akupun menjawab “Aku tidak pandai membaca”. Malaikat tersbut memelukku sehingga aku merasakan amat kepayahan. Lalu aku dilepaskan dan dia berkata lagi “Bacalah!” , Maka akupun menjawab: “Aku tidak pandai membaca”. Lalu dia merangkulku untuk yang kedua kali sampai aku kepayahan, kemudian melaskan lagi dan dia berkata ”Bacalah!” Aku menjawab “Aku tidak pandai membaca”. Maka dia merangkulku yang ketiga kali sehingga aku kepayahan, kemudian dia berkata:”Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan …….”sampai dengan “……apa yang tidak di ketahuinya”.(Hadits).
2.                  Dikatakan pula bahwa yang pertama kali turun ialah firman Allah: Ya ayyuhal muddatsir (Wahai orang yang berselimut). Ini di dasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh dua syaikh ahli hadits: dari Abu salamah bin Abdurrahman, dia berkata: Aku telah bertanya kepada Jabir bin Abdullah: “yang manakah diantara Qur’an itu yang pertama kali turun”? Dia menjawab: “Ya ayyuhal muddatsir”.  Aku bertanya lagi: “Ataukah iqra’ bismi rabbik”? Dia menjawab: “Aku katakan kepadamu apa yang dikatakan Rasulullah Saw kepada kami.
Mengenai apa yang disampaikan Jabir tersebut, dapatlah dijelaskan bahwa pertanyaan itu mengenai surah yang diturunkan secara penuh. Jabir menjelaskan bahwa surah muddatsirlah yang turun secara penuh sebelum surah Iqra’ selesai diturunkan,karena yang turun pertama kali dari surah iqra’ itu hanyalah permulaan saja.
3.                  Dikatakan pula bahwa yang pertama kali turun ialah surah Fatihah. Mungkin yang dimaksudkan adalah surah yang pertama kali turun secara lengkap.
4.                  disebutkan juga bahwa yang pertama kali turun adalah Bismillāhirrahmānirrahim, karena basmalah itu turun mendahului setiap surah.
Dalil-dalil kedua pendapat diatas ialah hadits mursal. Pendapat pertama yang didukung oleh hadits Aisyah itulah pendapat yang kuat dan masyhur.[20]
Yang Terakhir Kali Diturunkan
Dikatakan bahwa ayat yang terakhir diturunkan adalah ayat mengenai riba. Didasarkan pada hadits yang dikeluarkan oleh Bukhori dari Ibn Abbas, yang mengatakan: “Ayat yang terakhir turun adalah ayat mengenai riba”. Yang dimaksud ialah firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)”. (Al-Baqarah[2]:278).

1.                  Dan dikatakan pula bahwa ayat Qur’an yang terakhir turun ialah firman Allah:
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ
Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. (Al-Baqarah[2]:281).
2.                  Juga dikatakan baahwa yang terakhir kali turun itu ayat mengenai hutang, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyab,”telah sampai kepadanya bahwa ayat Al-Qur’an yang paling muda di ‘Arsy ialah ayat mengenai hutang”. Yang dimaksudkan adalah ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (Al-baqarah[2]:282).
3.                  Dikatakan pula bahwa yang terakhir kali diturunkan adalah ayat mengenai kalalah . Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Barra’n bin ‘Azib,dia berkata:”ayat yang terakhir kali turun adalah:
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ 
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah. (An-Nisa’[4]:176).
Ayat yang turun terakhir menurut hadits Barra’ ini adalah berhubungan dengan warisan.
4.                  Pendapat lain mengatakan bahwa yang terakhir turun adalah firman Allah:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ
Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri…” sampai akhir surah.
Muslim meriwayatkan dari Ibn Abbas, bahwa hadits ini memberi tahukan bahwa surah ini ialah surah yang diturunkan terakhir kali, karena ayat ini mengisyaratkan wafatnya Nabi Saw., sebagaimana dipahami oleh sebagian sahabat, atau mungkin surah ini adalah surah yang terakhir kali diturunkan.
5.                  Dikatakan pula bahwa yang terakhir kali turun adalah surah Al-Maidah, ini didasarkan pada riwayat Tirmizi dan Hakim, dari Aisyah r.a . tetapi menurut pendapat kami, surah itu surah yang terakhir kali turun dalam hal halal dan haram, sehingga tak satu hukumpun yang di nasikh di dalamnya. 
6.      Dikatakan pula bahwa yanga terakhir kali turun ialah firman:
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ ۖ بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.(Al-‘Imran[3]:195).
Ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Mardawaih melalui mujahid dari ummu salamah, dia berkata:”ayat yang terakhir kali turun adalah ayat ini:”maka Tuhan memperkenankan permohonan mereka: “sesungguhnya akau tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kaummu…”sampai akhir ayata tersebut.
7.      Ada juga dikatakan bahwa ayat terakhir yang turun ialah ayat:
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”.  (An-Nisa’[4]:93).
8.      Dari Ibn Abbas dikatan :”surah terakhir yang diturunkan ialah:
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
Pendapat-pendapat ini semua tidak mengandung sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw. Masing- masing merupakan ijtihad dan dugaan. Mungkin pula bahwa masing-masing mereka itu memberi tahukan mengenai apa yang terakhir di dengarkan dari Rasulullah.[21]
VI.             Asbabunnuzul
Dalam pendefisian asbāb al-nuzul, banyak sekali ulama yang mencoba untuk memberikan pengertian dan memahami terhadapnya. Diantara beberapa definisi asbāb al-nuzul yang di ketengahkan oleh pakar al-Qur’an adalah :
1.      Peristiwa yang melatari turunnya ayat pada saat itu.[22] Definisi singkat ini diutarakan oleh al-Suyuthi.
2.      Suatu kejadian atau peristiwa yang menjadi sebab turunnya satu ayat atau beberapa ayat yang bercerita tentang peristiwa tersebut atau sebagai penjelasan terhadap hukum dari peristiwa yang terjadi saat itu.[23] Ini adalah definisi yang disampaikan oleh al-Zarqāni.
3.      Sebuah disiplin ilmu yang membahas tentang sebab-sebab yang melatari turunnya ayat atau surat, waktu turunnya, tempat turunnya dan sebagainya.[24] Definisi yang disampaikan oleh Khālid ‘Abdullāh al-‘Akk ini menganggap asbāb al-nuzul sebagai sebuah disiplin ilmu, bukan sebagai objek ilmu.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi bisa berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Saw, (baik itu tentang hal-hal masa lalu, pada saat itu atau masa yang akan datang) atau kejadian-kejadian yang dialami oleh para sahabat (seperti perselisihan, kesalahan yang dilakukan oleh para sahabat ataupun sebuah harapan atau keinginan sahabat).[25]
Contoh asbāb al-nuzul yang berupa perselisihan adalah peristiwa perselisihan atau permusuhan yang terjadi antara sekelompok orang dari Kabilah Aus dengan beberapa orang dari Kabilah Khazraj, yang dipicu oleh provokasi yang dilakukan orang Yahudi, sehingga mereka semua mengucapkan kata-kata “perang! Perang !”, kemudian turunlah ayat yang berhubungan dengan ayat ini,[26]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Alkitab nliscalyal mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.” (QS. Ali Imrān [03]: 100).
Sedangkan kejadian yang berkaitan dengan kesalahan atau perbuatan yang dianggap tidak baik oleh agama contohnya adalah kejadian beberapa sahabat yanga meminum arak kemudian shalat dalam keadaan mabuk. Mereka tidak mengerti bahkan lupa rakaat shalat yang dilakukan dan apa yang mereka baca dalam shalat. Lalu salah seorang dari mereka menjadi imam. Setelah membaca al-Fātihah, dia keliru membaca surat al-Kāfirun dengan mengucapkan:
قل ياأيها الكافرون. أعبد ما تعبدون
“Katakanlah: Hai orang-orang kafir. Aku menyembah apa yang kalian sembah”.
Dengan membuang huruf “لا” yang terletak di depan lafaz “أعبد”. Kemudian turunlah ayat yang menjelaskan peristiwa tersebut,[27]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan” (QS. Al-Nisā’ [04]: 43)
Manfaat Mengetahui Asbāb al-Nuzul
Banyak sekali manfaat dari pengetahuan tentang asbāb al-nuzul, di antaranya adalah :[28]
1.      Mengetahui hikmah di balik penentuan hukum yang disyariatkan Allah Swt.
2.      Membantu dalam memahami sebuah ayat dan menghilangkan kerancuan dari ayat tersebut.
3.      Menolak salah presepsi pembatasan sebuah hukum (al-hasr) dari lafaz yang secara jelas terdapat al-hasr.
4.      Menentukan sebuah hukum dengan melalui sebab turunnya ayat menurut orang yang berpandangan bahwa yang dianggalp adalah kekhususan sebab, bukan umumnya lafaz yang di pakai العبرة بخصوص                                         السبب لا بعصوم اللفظ
5.      Mengetahui asbāb al-nuzul tidak keluar dari hukum teks yang ada ketika lafaz ayatnya umum (‘am) dan ada yang men-takhshis-nya (penyempitan).
6.      Dengan mengetahui asbāb al-nuzul, dapat diketahui dan ditentukan objek atau sasaran (nama orang) dari turunnya suatu ayat sehingga tidak menimbulkan kekeliruan.
7.      Memudahkan hafalan, pemahaman, dan menetapkan wahyu pada sanubari orang-orang yang mengetahui asbāb al-nuzul sebuah ayat.
VII.          Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
Al-Qur’an merupakan kitab pokok atau kitab suci umat islam. Dalam al-Qur’an terdapat sumber-sumber hukum islam, sumber tauhid dalam islam, dan lain sebagainya. Namun, sebagaimana kita saksikan dalam sejarah, bahwa orang Aram mempunyai aneka lajnah (dialek) yang timbul dari fitrah mereka. Setiap kabilah atau suku mempunyai irama tersendiri dalam mengucapkan kata-kata yang tidak dimiliki oleh kabilah lainnya.[29] Sehingga al-Qur’an diturunkan dengan menyesuaikan dialek masing-masing suku yang besar atau lebih identik dengan 7 suku atau kabilah.
 Para ulama berbeda pendapat dalam memahami sab’ah ahruf  . perbedaan tersebut terbagi menjadi enam pendapat sebagaimana disebutkan dalam berbagai kitab studi al-Qur’an, antara lain:[30]
1.      Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud sab’ah ahruf  adalah tujuh bahasa yang terkenal di kalangan bangsa Arab, tetapi maknanya tidak berbeda atau sama. Ketujuh bahasa tersebut adalah Quraisy, Huzail, Saqif, Hazawin, Kinanat, Tamim, Yaman. Maksudnya tujuh macam bahasa untuk satu makna.
2.      Lafadz-lafadz yang  terdapat dalam al-Qur’an tidak terlepas dari tujuh bahasa yang terkenal di kalangan bangsa Arab. Dalam hal ini, suku Quraisy lebih dominan, sementara bahasa lainnya adalah Huzail, Saqif, Hazawin, Kinanat, Tamim, Yaman.
3.      Sekelompok ulamla menyatakan, yang di maksud adalah bahwa dalam al-Qur’an terdapat tujuh aspek hukum/ajaran yaitu berupa perintah, larangan, halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan amtsal.
4.      Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah tujuh hal yang di dalamnya terjadi perbedaan, yaitu perbedaan kata benda, i’rab, tasrif, nuqsan dan ziadah, taqdim dan ta’khir, tabdil, dan lajnah (dialek).
5.      Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits sab’ah ahruf  tidak diartikan sebagai bilangan tertentu, tetapi menunjukkan arti banyak. Dengan demikian, kata sab’ah ahruf merupakan isyarat bahwa bahasa dan susunan al-Qur’an merupakan batas dan sumber bagi perkataan semua orang Arab.
6.      Pendapat lain mengatakan, bahwa sab’ah ahruf  adalah qiraaat yang berlaku pada masa Nabi. ini yang biasa di asumsikan oleh orang awam.
Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an dalam Tujuh huruf
Hikmah yang dapat diambil dari diturunkannya al-Qur’an dalam tujuh huruf, antara lain:[31]
1.      Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi umat islam, khususnya bangsa Arab yang ummi, yang setiap kabilahnya masing-masing mempunyai dialek, namun belum terbiasa syari’at apalagi mentradisikannya.
2.      Bukti kemukjizatan al-Qur’an bagi naluri atau watak dasar kebahasaan orang Arab.
3.      Kemukjizatan al-Qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya.
4.      Memperkokoh kesatuan umat.
5.      Bukti keagungan al-Qur’an.
Kelima hikmah tersebut tampaknya sudah cukup mewakili berbagai hikmah yang dikemukakan oleh berbagai kitab dalam redaksi yang berbeda-beda, namun maksudnya sama.
VIII.       Al-Makki dan Al-Madani dalam Al-Qur’an
Ketika membicarakan sejarah tentang turunnya Al-qur’an, diterangkan bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad di dua tempat atau dua masa yang berbeda, yaitu: pertamai, ketika Nabi bertempat tinggal di Makkah dalam arti sebelum hijrah ke Madinah dan kedua, ketika Nabi bermukim di Madinah sesudah hijrah. Surat/ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Makkah sebelum nabi hijrah dinamai surat/ayat Makkiyah, sedangkan surat/ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Madinah sesudah Nabi hijrah dinamakan surat/ayat Madaniyah.[32] Namun demikian terdapat perbedaan pendapat dikalangan pakar-pakar ulumul Qur’an mengenai batasan ayat/surat Makkiyah san surat/ayat Madaniyah yaitu:
1.      Surat/ayat Makkiyah adalah surat/ayat A;-Qur’an yang diturunkan di Makkah, sedangkan surat/ayat Madaniyah adalah surat/ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Madinah. Dalam menetapkan Makkiyah atau Maadaniyahnya suatu ayat/surat, pendapat ini menjadikan lokasi turunnya Al-Qur’an sebagai dasarnya.
2.      Surat/ayat Makkiyah ialah surat/ayat yang khitabnya ditujukan kepada penduduk Makkah, sedangkan surat/ayat Madaniyah ialah surat/ayat yang khitabnya ditujukan kepada penduduk Madinah.kelompok ini menetapkan pendapatnya atas dasar golongan atau kelompok manusia yang dijadikan sasaran dari penurunan surat/ayat Al-Qur’an itu sendiri.
3.      Surat/ayat Makkiyah adalah surat/ayat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah (ke Madinah) walaupun surat/ayat itu diturunkan di Madinah, surat/ayat Madaniyah adalah surat/ayat yang diturunkan sesudah Nabi hijrah (ke Madinah), walaupun surat/ayat itu ada juga yang diturunkan di Makkah. Menurut sebagian orang, pendapat terakhir inilah yang dipandang paling masyhur.[33]   
Menurut Syejh Muhammad al-Khudhari Bek, Al-Qur’an yang diturunkan di Makkah kira-kira 19/30, sedangkan yang diturunkan di Madinah kira-kira 11/30, atau tepatnya surat-surat yang diturunkan di Makkah sebanyak 86 surat, dan yang diturunkan di Madinah sebanyak 28 surat.[34]
Tanda-tanda Surat/Ayat Makkiyah dan Surat/Ayat Madaniyah
1.      Beberapa ciri khas surat/ayat Makkiyah :[35]
a.       Surat-surat atau ayat-ayatnya pendek-pendek
b.      Nada perkataannya keras, tapi agak bersajak
c.       Pada umunya berisikan soal-soal keimanan, tauhid, akhlaq, surga, neraka, pahala dan dosa
d.      Khitab (arah pembicaraannya) ditujukan kepada segenap umat manusia secara keseluruhan dengan menggunakan kata seruan يا أيها الناس atau يا بني ادم
e.       Tiap-tiap surat atau ayat yang didalamnya lafaz dan ayat sajdah (السجده)
f.       Tiap-tiap surat/ayat yang berisikan kisah tentang para Nabi dan umat terdahulu (sebelum Nabi Muhammad Saw), kecuali surat Al-Baqarah
g.      Tiap-tiap surat yang didalamnya terdapat kisah Nabi Adam dan Iblis, kecuali surat Al-Baqarah
h.      Tiap-tiap surat yang diawali dengan huruf hijaiyyah seperti ق , ن, dan lain-lain
i.        Surat yang di dalamnya terdapat lafaz qasam (sumpah).
2.      Beberapa ciri surat/ayat Madaniyah:
a.       Surat-surat/ayat-ayatnya panjang-panjang
b.      Surat/ayatnya berisikan tentang masalah-masalah ibadah, muamalah, hukum dan soal-soal kemasyarakatan lainnya
c.       Tiap-tiap surat/ayat yang menceritakan keadaan orang-orang munafik, selain surat Al-Ankabut
d.      Tiap-tiap surat/ayat yang di dalamnya disebut keadaan orang-orang Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani)
e.       Khitabnya ditujukan kepada orang-orang mukmin dengan menggunakan kalimat imbauan يا أيها الذين أمنوا kecuali dalam surat-surat:
1.      Al-Baqarah [2] ayat 21dan 168
2.      Al-Nisa’ [4] ayat 132, 170 dan 175
3.      Al-Hajj [22] ayat 1
4.      Al-Hujarat [49] ayat 13 yang menggunakan perkataan يا أيها الناس.
Adapun mengenai faedah (kegunaan) mempelajari ilmu al-makki wal- madani terdapat rumusan yang bervariasi di kalangan ahli-ahli ilmu Al-Qur’an. Yang terpenting dari padanya ialah:
1.      Ilmu al-makki wal-madani sangat dibutuhkan dan bermanfaat bagi klasifikasi berbagai periwayatan, pembenaran teks-teks dan pembelajaran terhadap pelurusan kebenaran sejarah.
2.      Dengan ilmu al-makki wal-madani, seorang mufassir dan atau yang lainnya dapat mengenali dan sekaligus menelusuri jejak (napak tilas) rangkaian fase-fase dakwah islamiyah dari awal hingga akhir dan sekaligus akan memperoleh inspirasi dalam memuncullkan cara-cara yang prima dalam membangun sistem berpikir keislaman sepanjang zaman dan dalam saentero keadaan.[36]
3.      Dengan mengenal ilmu al-makki wal-madani, seorang mampu menghayati proses turunnya Al-Qur’an surat demi surat dan ayat demi ayat, dari satu tempat ke tempat lain dan dari waktu ke waktu serta dari kelompok sosial yang satu kepada kelompok sosial yang lain.
4.      Dengan ilmu al-makki wal-madani, seseorang dapat mengetahui sejarah perjalanan Nabi muhammad.[37]
5.      Dengan ilmu all-makki wal-madani, kita dapat mengetahui pensyariatan hukum islam dan perkembangannya yang sangat bijaksana serta bersifat umum.[38]
IX.             Pengumpulan Al-Qur’an
Al-Qur’an yang ada di sekitar kita yang terdiri dari kurang lebih 6666 ayat bukanlah hal yang sedikit.[39] Lalu timbul pertanyaaan, bagaimana Al-Qur’an yang terdiri dari 6666 ayat itu dapat terkumpul? Sekilas tidak masuk akal, karena pada zaman Nabi Saw dan para sahabat terdahulu belum ada alat atau tekhnologi yang menyimpan atau merekam data. Untuk menjawab soal tersebut, berikut penjelasannya:
            Menurut kalangan ulama, terminologi pengumpulan al-Qur’an memiliki dua konotasi:
a.       Konotasi penghafal al-Qur’an
b.      Konotasi penulisannya secara keseluruhan

A.                Proses Penghapalan Al-Qur’an
Kedatangan wahyu merupakan sesuatu yang dirindukan Nabi Saw. Sehingga, begitu wahyu datang, nabi langsung menghapal, memahami dan menyampaikannya. Dengan demikian, Nabi adalah orang yang pertama kali menghapal al-Qur’an yang kemudian diikuti oleh para sahabat. Sekitar 7 sahabat Nabi yang terkenal dengan hapalan Al-Qur’annya, yaitu: Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Mi’qol, Muadz bin Sabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zid bin As-Sakan dan Abu Darda. Sedangkan dari kalangan wanitanya adalah ‘Aisyah,Hafsah, Ummu Salah, dan Ummu Wasaqah.[40]

B.                 Proses Penulisan Al-Qur’an
1.      Pada Masa Nabi
Pada zaman Rasulullah Saw dan pemerintahan Abu Bakar dan Umar, ilmu-ilmu al-Qur’an belum dikukukan, karena umat islam belum memerlukannya. Sebab, umat islam pada saat itu adalah bangsa Arab asli sehingga mereka mampu memahami al-Qur’an dengan baik. Apabila dari mereka mengalami kesulitan dalam memahami ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an, maka mereka langsung menanyakannya kepada Rasul. Dari situlah mereka mendapatkan pengetahuan yang baru.
Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi yaitu dituliskan pada benda-benda seperti yang terbuat dari kulit binatang dan lain-lain. Tulisan-tulisan dari dari benda tersebut dikumpulkan untuk Nabi dan beberapa diantaranya menjadi koleksi para sahabat yang pandai baca tulis.[41] Perlu digaris bawahi, pada saat itu Nabi melarang sahabatnya menuliskan apa kata Nabi  selain al-Qur’an.
Rasulullah telah mengangkat para sahabat-sahabat terkemuka untuk menulis wahyu al-Qur’an, yaitu:  Ali, Muawiyah, Ubay bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit. Jika ayat turun ia memerintahkan mereka menulis dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan tersebut membantu penghafalan dalam hati. Sebagian sahabat menuliskan al-Qur’an yang turun itu atas kemauan sendiri, tanpa diperintah Nabi.[42]

2.      Masa Khulafa’ur rasyidin
1.      Masa Abu Bakar
Pada dasarnya, seluruh al-Qur’an sudah ditulis pada masa Nabi Saw. Hanya saja, surat san ayatnya masih terpencar-pencar. Pada zaman Abu Bakar tahun 12 H penyebab pengumpulannya adalah pada perang yamamah, banyak dari kalangan para penghafal al-Qur’an yang terbunuh.[43] Akibat peristiwa tersebut Umar merasa khawatir akan kehilangan sebagian besar ayat-ayat al-Qur’an akibat wafatnya para Khuffazh.
Dalam kitab sahih bukhori, disebutkan bahwa, Umar bin Khattab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga umar terus menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Swt membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid bin Tsabit. Abu Bakar mengatakan pada Za’id: “sesungguhnya engkau adalah seseorang yang masih muda dan berakal cemerlang, kami tidak meragukanmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah, maka sekarang carilah al-Qur’an dan kumpulkanlah!”. Zaid berkata: “maka akupun mencari dan mengumpulkan dari pelepah kurma, permukaan batu, dan dari hafalan orang-orang”.[44]
Mushaf-mushaf yang telah terkumpul lalu disimpan di rumah Abu Bakar hingga beliau wafat. Mushaf-mushaf ini kemudian di pindahkan di simpan di rumah khalifah Umarhingga beliau wafat. Terakhir, mushaf-mushaf ini disimpan di rumah ummul-mukminin Hafsah sesuai wasiat daril khalifah Umar.[45]
2.      Masa Utsman bin Affan
Pemerintahan Utsman bin Affan yaitu tahun 25 H. Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin pada dialek bacaan al-Qur’an sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang berada di tangan para sahabat. Hal itu di khawatirkan akan menjadi fitnah, maka utsman memerintahkan mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf, sehingga kaum muslimin tidak berbeda bacaannya dan tidak pula bertengkar pada Kitab Allah yang akhirnya berpecah belah.
Kemudian Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits untuk menuliskannya kembali dan mempebanyaknya. Dari mushaf-mushaf tersebut satu salinan disimpan di Madinah dan yang lain dikirimkan di berbagai pusat islam seperti kota Kufffah, Bashrah, Damaskus, dan Makkah.[46]
3.                   Penyempurnaan  Penulisan Al Qur’an setelah Masa Khalifah
Mushaf ditulis atas perintah Utsman, tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang  tujuh. Ketika banyak orang non arab yang memeluk islam, mereka kesulitan membaca mushaf tersebut.
Penyempurnaan tersebut antara lain yaitu: Ubaidillah bin Ziyad dan Hajjaj bin Yusuf memerintahkan seorang lelaki persia untuk meletakkan alif sebagai pengganti dari huruf yang dibuang. Misalnya (اقلتْ) di ganti menjadi (قالتْ) , dan sebagainya. Abu Al-Aswad, Yahya bin Ya’mar, dan Nasr bin Ashim sebagai orang yang pertama kali meletakkan tanda titik pada mushaf utsmani. Al-Khalil bin Ahmad adalah orang yang pertama kali meletakkan tanda hamzah, tasydid, ar-raum, al-isymam.[47]
X.                Urutan ayat dan surat Al-Qur’an Tertib Ayat
Qur’an terdiri atas surah-surah dan ayat-ayat, baik  yang pendek maupun yang panjang. Ayat adalah sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam sebuah surah dari Qur’an. Surah adalah sejumlah ayat Qur’an yang mempunyai permulaan dan kesudahan. Tertib atau urutan ayat-ayat Qur’an ini adalah tauqufi, ketentuan dari Rosulullah. Sebagian ulama meriwayatkan bahwa pendapat ini adalah ijma’, diantaranya Al-Zarkasyi dalam al-Burhan dan Abu Ja’far Ibnuz Zubair  dalam munasabahnya dimana dimana ia mengatakan : “Tertib ayat-ayat didalam surah itu berdasarkan tauqifi dari Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa di perselisihkan kaum muslimin.” As-Suyuthi telah memastikan tentang hal itu, ia berkata: “Ijma’ dan nas-nas serupa menegaskan,tertib ayat-ayat itu adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi.” Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya tempat dimana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surah atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskan di tempat tersebut.[48]  Susunan dan penempatan ayat tersebut sebagaimana yang disampaikan para sahabat kepada kita. Usman bin Abil ‘As berkata: “aku tengah duduk disamping Rasulullah, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian katanya jibril telah datang kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini di tempat anu dari surah ini : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan serta memberi kepada kaum kerabat….”(An-Nahl[16]:90)[49]
Terdapat sejumlah hadits yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari surah-surah tertentu. Ia menunjukkan bahwa tertib ayat-ayat bersifat tauqifi. Sebab jika tertibnya dapat diubah, tentulah ayat-ayat itu tidak akan didukung oleh hadits-hadits tersebut.
Dengan demikian, tertib ayat-ayat qur’an seperti yang ada dalam mushaf yang beredar diantara kita adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi. As-Suyuthi setelah menyebutkan hadits-hadits berkenaan dengan surah-surah tertentu mengemukakan : “Pembacaan surah-surah yang dilakukan Nabi di hadapan para sahabat itu menunjukkan bahwa tertib atau susunan ayatnya adalah tauqifi. Sebab para sahabat tidak akan menyusunnya dengan tertib yang berbeda dengan yang mereka dengar dari bacaan Nabi. Maka sampailah tertib ayat seperti demikian kepada tingkat mutawatir.  [50]
Tertib Surah
            Para ulama berbeda pendapat tentang tertib surah-surah Qur’an.
A.                Dikatakan bahwa tertib surah itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana diberitahukan Jibril kepadanya atas perintah Tuhan. Dengan demikian, Qur’an pada masa Nabi telah tersusun surah-surahnya secara tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya, seperti yang ada di tangan kita sekarang ini, yaitu tertib mushaf Utsman yang tidak ada seorang sahabatpun menentangnya. Ini menunjukkan telah jadi kesepakatan (ijma’) atas tertib surah, tanpa suatu perselisihan apapun.
Yang mendukung pendapat ini ialah, bahwa Rasulullah telah membaca beberapa surah secara tertib di dalam salatnya. Ibn AbiSyaibah meriwayatkan bahwa Nabi pernah membaca beberapa surah mufassal (surah-surah pendek) dalam satu rakaat. Bukhari meriwayatkan dari Ibn Mas’ud bahwa ia mengatakan tentang surah Bani Isra’il, Kahfi, Maryam, Taha dan Anbiya’: “surah-surah itu termasuk yang diturunkan di makkah dan yang pertama-tama aku pelajri.” Kemudian ia menyebutkan surah-surah itu secara berututan sebagaimana tertib susunan sekarang ini.
B.                 Dikatakan bahwa tertib surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat, mengingat adanya perbedaan tertib di dalam mushaf-mushaf mereka. Misalnya mushaf Ali disusun menurut tertib nuzul, yakni dimulai dengan Iqra’, kemudian Muddatsir, lalu Nun, Qalam, kemudian Muzzamil dan seterusnya hingga akhir surah Makki dan Madani.
Dalam mushaf Ibn Mas’ud yang pertama ditulis ialah surah Baqarah, kemudian Nisa’ dan kemudian ‘Imran.
Dalam mushaf Ubai yang pertama ditulis ialah Fatihah, Baqarah kemudian Nisa’dan kemudian ‘Imran.
C.                 Diakatakan bahwa sebagian surah itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat, hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surah pada masa Nabi. misalnya keterangan yang menunjukkan tertib as-sab’ut tiwāl, al-hawāmim, dan al-mufassal pada masa hidup Rasulullah.  [51]
Diriwayatkan,
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : اقرأوْا الزهروين : البقرة والعمران.
“ bahwa Rasulullah berkata: Bacalah olehmu dua surah yang bercahaya, al-Baqarah dan al-‘Imran.”[52]
Surah-surah dan Ayat-ayat Qur’an
Surah-surah Qur’an itu ada empat bagian: 1) at-Tiwāl, 2) al-Mi’un, 3) al-Masāni, 4) al-Mufassal. Berikut ini kita kemukakan secasra singkat pendapat terkuat mengenai empat bagian tersebut:
1.      At-Tiwāl ada tujuh surat yaitu: Baqarah, ‘Imran, Nisa’, Maidah, An’am, A’raf, dan  yang ketujuh ada yang mengatakan Anfal dan Bara’ah sekaligus karana tidak dipisah dengan basmalah diantara keduanya. Dan dikatakan pula bahwa yang ketujuh adalah surah Yunus.
2.      Al-Mi’un yaitu surah-surah yang ayat-ayatnya lebih dari seratus atau sekitar itu.
3.      Al-Masāni, yaitu surah-surah yang jumlah ayatnya di bawah al-Mi’un. Dinamakan Masāni karena surah itu diulang-ulang bacaannya lebih banyak dari at-Tiwāl dan al-Mi’un.
4.      Al-Mufassal, dikatakan bahwa surah-surah ini dimulai dari surah Qaf, adapula yang mengatakan dimulai dari surah hujarat, juga ada yang mengatakan dimulai dari surah yang lain.
Dinamakan mufassal karena banyaknya fasl (pemisah) diantara surah-surah tersebut dengan basmalah.[53]

            Jumlah surah Qur’an ada seratus empat belas surah . dan dikatakan pula ada seratus tiga belas surah, karena surah Anfal dan Bara’ah dianggap satu surah. Adapun jumlah ayatnya sebanyak 6.200 lebih namun kelebihan ini masih diperselisihkan. Ayat terpanjang adalah ayat utang-piutang, sedangkan surah terpanjang adalah surah Baqarah. Pembagian seperti ini dapat mempermudah orang menghafalnya, mendorong mereka untuk mengkaji dan mengingatkan pembaca surah bahwa ia telah mengambil bagian yang cukup dan jumlah yang memadai dari pokok-pokok agama dan hukum-hukum syariat.[54]

XI.             Penulisan Al-Qur’an
Kita telah membicarakan tentang pengumpulan Qur’an pada masa Utsman. Zaid bin Tsabit bersama tiga orang Quraisy telah menempuh suatu metode khusus dalam penulisan Qur’an yang disetujui oleh Utsman. Para ulama menamakan metode tersebut dengan ar-Rasmul ‘Utsmāni lil Mushaf, yaitu dengan menisbahkan kepada Utsman. Tetapi kemudian mereka berbeda pendapat tentang status hukumnya.[55]
1.                  Sebagian mereka berpendapat bahwa Rasam Utsmani untuk Qur’an ini bersifat tauqifi yang wajib dipakai dalam penulisan Al-Qur’an, dan harus sungguh-sungguh disucikan.
Ibnul mubarak mengutip gurunya, Abdul Aziz Ad-Dabbāg, yang mengatakan kepadanya bahwa “para sahabat dan orang lain tidak campur tangan seujung rambutpun dalam penulisan Qur’an karena penulisan Qur’an adalah tauqifi, ketentuan dari Nabi. dialah yang memerintahkan kepada mereka untuk menuliskan dalam bentuk seperti yang dikenal sekarang, dengan menambah alif atau menguranginya karena ada rahasia-rahasia yang tidak yang tidak dapat dijangkau oleh akal. Itulah salah satu rahasia Allah yang diberikan kepada kitab-Nya yang mulia, yang tidak diberikan kepada kitab-kitab samawi lainnya. Sebagaimana susunan Al-Qur’an ialah mukjizat, maka penulisannyapun mukjizat pula.
2.                  Banyak ulama berpendapat bahwa Rasam Utsmani bukan tauqifi dari Nabi, tetapi hanya merupakan satu cara penulisan dari yang disetujui Utsman dan diterima umat dengan baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar. Asyhab berkata: “Malik ditanya: Apakah mushaf boleh ditulis menurut ejaan kaidah penulisan yang diadakan orang? Malik menjawab: Tidak, kecuali menurut tata-cara penulisan yang pertama.”(riwayat Abu ‘Amr ad-Dhanidalam al-Muqni’). Kemudian kata Asyhab pula: “Dan tidak ada orang yang menyalahi rasm di antara ulama umat islam.” Di tempat lain Asyhab mengatakan: “Malik ditanya tentang huruf-huruf dalam Qur’an seperti “wawu” dan “alif”, bolehkah mengubah kedua huruf itu dari mushaf apabila di dalam mushaf terdapat hal seperti itu? Malik menjawab: Tidak.” Abu ’Amr mengatakan, yang dimaksudkan disini adalah wawu dan alif tambahan dalam rasm, tetapi tidak nampak dalam ucapan seperti “ulu” أولوا . Dan Imam Ahmad berpendapat: “Haram hukumnya menyalahi tulisan mushaf Utsman dalam hal wawu, ya’, alif atau yang lain.[56]
3.                  Segolongan ulama berpendapat bahwa Rasm Utsmani itu hanyalah sebuah istilah, tatacara, dan tidak ada salahnya jika menyalahi bila orang telah mempergunakan satu rasm tertentu untuk imla’ dan rasm itu tersiar luas di antara mereka.[57]
Bertitik tolak dari pendapat ini sebagian orang sekarang menyerukan untuk menyerukan untk menuliskan Al-Qur’anul Karim dengan kaidah-kaidah imla’ yang sudah tersiar luas dan diakui, sehingga akan memudahkan para pembaca yang sedang belajar untuk membacanya. Dan disaat membaca Al-Qur’an ia tidak merasakan adanya perbedaan rasm Qur’an dengan rasm imla’ istilahi yang diakui dan dipelejarinya itu.[58]
Rasm Utsmani adalah rasm (bentuk ragam tulisan) yang telah diakui dan diwarisi oleh umat islam sejak masa Utsman. Dan pemeliharaan rasm Utsmani merupakan jaminan kuat bagi penjagaan Qur’an dari perubahan dan penggantian huruf-hurufnya. Seandainya diperbolehkan menuliskannya menurut istilah imla’ di setiap masa, maka hal ini akan mengakibatkan perubahan Mushaf dari masa ke masa. Bahkan kaidah-kaidah imla’ itu sendiri berbeda-beda kecenderungannya pada masa yang sama dan bervariasi pula dalam beberapa kata di antara satu negeri dengan negei lain.
XII.          Qira’ah
Secara bahasa makna qira’ah adalah mashdar dari Qara’a yang berarti bacaan. Jadi qira’at secara bahasa adalah beberapa bacaan. Sedangkan menurut istilah, qira’at menurut al-Zarqani adalah madzhab yang dianut oleh seorang imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an serta di sepakati riwayat-riwayatnya dan jalur dari padanya, baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan keadaan-keadaannya.
            Menurut al-Jazairi sebagaimana yang dikutip Chirrin, qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan mengembalikan/menyerupakan pada penukilnya.[59]
            Jadi, qira’at adalah perbedaan lafal-lafal Al-Qur’an, baik dari segi huruf-hurufnya, pengucapannya, dan lain-lain yang dinisbatkan kepada suatu imam yang diperoleh melalui sima’i[60] dan naqli.[61] Dengan kata lain, qira’at, adalah suatu aliran atau madzhab dalam membaca Al-Qur’an.
Penyebab Terjadinya Perbedaan Qira’at Al-Qur’an
            Terdapat perbedaan dikalangan para ulama tentang apa yang sebenarnya menyebabkan terjadinya perbedaan qira’at Al-Qur’an. Berikut ini pendapat para ulalm yang dikutip oleh Hasannudin, antara lain:[62]
1.      Sebagian ulama berpendapat, bahwa perbedaan qira’at Al-Qur’an itu disebabkan karena perbedaan qira’at Nabi Saw. Artinya, dalam menyampaikan dan mengajarkan A;-Qur’an kepada para sahabatnya, beliau membacakannya dalam berbagai versi qira’at.
2.        Pendapat lain mengatakan, bahwa perbedaan qira’at Al-Qur’an disebabkan karena taqrir atau pengakuan Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu. Hal itu menyangkut perbedaan Lajnah atau dialek kebahasaan diantara mereka dalam mengucapkan lafal-lafal tertentu dalam Al-Qur’an.
3.      Satu pendapat mengatakan, bahwa perbedaan qira’at Al-Qur’an itu disebabkan karena berbedanya qira’at yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi melalui perantara Malaikat Jibril.
4.      Jumhur ahli qira’at berpendapat, bahwa perbedaan tersebut dikarenakan adanya berbagai riwayat dari para sahabat dari Nabi menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
5.      Sebagian ulama berpendapat, bahwa adanya perbedaan qira’at Al-Qur’an disebabkan karena adanya perbedaan lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya Al-Qur’an.
6.      Pendapat lain menyatakan, bahwa perbedaan qira’at Al-Qur’an adalah merupakan hasil ijtihad atau rekayasa imam qira’at dan bukan bersumber dari Nabi. Hal ini karena mushaf utsmani tidak memiliki huruf dan tanda baca, sehingga memberikan peluang untuk terjadi berbagai ragam bacaan.

Lima pendapat di atas, rata-rata menyebutkan hal yang sama, yakni muara perbedaan qiraat adalah Nabi. Sementara pendapat yang keenam adalah pendapat kaum orientalis, yang berusaha mengemukakan bahwa Al-Qur’an itu bukan kalam Allah akan tetapi ada campur tangan manusia. Pendapat yang keenam tersebut salah, karena sebagaimana penulis kemukakan dalam pengertian qira’a,t bahwa qira’at tersebut harus ada sanad yang muttasil kepada Nabi.

Sebagian ulama menyimpulkan macam-macam qira’at menjadi enam macam:[63]
            Pertama; Mutawatir, yaitu qira’at yang di nukil oleh sejumlah besar perawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulullah. Inilah yang umum dalam hal qira’at.

            Kedua; Masyhur, yaitu qira’at yang sanadnya shahih, tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, rasm utsmani dan juga terkenal di kalangan para ahli qira’at, sehingga karenanya tidak di kategorikan qira’at yang salah atau syadz. Para ulama menyebutkan bahwa qira’at semacam ini termasuk qira’at yang dapat dipakai atau digunakan.

            Ketiga; Ahad, yaitu qira’at yang sanadnya shahih, tetapi menyalahi rasm Utsmani, menyalahi kaidah bahasa Arab atau tidak terkenal seperti halnya qira’at masyhur yang telah disebutkan. Qira’at macam ini tidak termasuk qira’at yang dapat diamalkan bacaannya.

            Keempat; syadz, yaitu qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti qira’at ملك يوم الين  ( Al-Fatihah: 4), dengan bentuk fi’il madhi, difathah huruf “kaf” dan menashabkan يوم.

            Kelima; Maudhu’, yaitu qira’at yang tidak ada asalnya.

            Keenam; Mudarraj, yaitu yang ditambahkan ke dalam qira’at sebagai penafsiran, seperti qira’at Ibnu Abbas: ليس عليكم جناح أن تبتغوا فضلا من ربكم فى موا سم الحج فإذا أضتم من عرفات (Al-Baqarah: 198), kalimat فى موا سم الحج adalah penafsiran yang disisipkan Ibnu Abbas ke dalam ayat.

            Keempat macam qira’at terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya.
           
Qira’at yang mutawatir adalah Qira’ah Sab’ah (tujuh) yang termasyhur. Qir’ah yang mutawatir itu disampaikan kepada kita dari para Qurra’ yang huffadz. Mereka terkenal dengan hafalan, kekuatan ingatan dan kejujurannya. Mereka menukil qira’at para sahabat yang mendengarkan langsung ayat-ayat Al-Qur’an dari Rasul. Imam-imam qira’ah sab’ah yang termasyhur yang dihimpun oleh Ibn mujahid adalah: Ibnu amir (21-118 H) di Syam, Ibnu Katsir (45-120 H) tersebar di Makkah, ‘Ashim (w. 128 H) di Kufah, Abu ‘Amr (68-154 H) di Basrah, Nafi (70-169 H) populer di Madinah, Hamzah (80-156 H) di Kufah, Al-Kisa’i (199-189 H), sebelum Al-Kisa’i sebenarnya Ibn Mujahid memasukkan nama Ya’qub al-Hadrami, tetepi kemudian sebelum meninggal Ya’qub digantikan dengan al-Kisa’i.[64]
Qira’at-qira’at tujuh yang masyhur diatas bukanlah bermakna tujuh huruf sebagaimana yang dimaksudkan dalam hadits Nabi, meskipun kesamaan bilangan diantara keduanya mengesankan demikian. Sebab, qira’a-qira’at hanya merupakan madzhab bacaan qur’an para imam, yang secara ijma’ masih tetap exis dan digunakan umat hingga kini.[65]
XIII.       Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ‘Ulumul Qur’an adalah ilmu yang membahas segala hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang disandarkan kepada Al-Qur’an sebagai penunjang untuk memahami Al-Qur’an secara luas dan mendalam. Perlu kita pelajari agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi acuan dan pedoman hidup dalam rangka meraih kesuksesan di dunia dan akhirat.
Pertumbuhan dan perkembangan ‘Ulumul Qur’an berlangsung dalam rentang waktu yang panjang. Walaupun pada masa nabi hidup disiplin ilmu ini belum dibukukan, sebab sahabat merasa cukup meminta penjelasan dari rasul akan sesuatu yang tidak dipahami. Namun hal ini berkembang, dimana wilayah Islam telah luas dan banyak orang ‘Ajam (non Arab) yang masuk Islam, tentunya mereka mengalami kesulitan dalam membaca dan memahami Al-Qur’an. Lahirlah inisiatif dari Usman untuk menyalin Al-Qur’an kembali dari Salinan Al-Qur’an yang pernah ditulis di masa Nabi hidup dan diperbanyak. Tindakan ini disusul dengan berbagai kegiatan para sahabat dan para tabi’in untuk menggali berbagai ilmu dalam Al-Qur’an, sehingga lahirlah berbagai kitab. Akhirnya pada abad ke-2 H ‘Ulumul Qur’an mulai dibukukan. Dengan kitab-kitab yang sudah ditulis tersebut semakin meramaikan pembahasan para Ulama tentang Al-Qur’an.
Keberadaan Ulumul Qur’an dalam konteksnya  yang serba luas dan umum, memegang fungsi dan posisi penting bagi penafsiran al Qur’an sepanjang Zaman.
Ulumul Qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia.
Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur’an  meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya.
Keberadaan Ulumul Qur’an dalam konteksnya  yang serba luas dan umum, memegang fungsi dan posisi penting bagi penafsiran al Qur’an sepanjang Zaman








Daftar Pustaka
Al-Qur’an.
Abu Syahbah, Muhammad. al-Madkhal li Dirāsah al-Qur’ān al-Karim. Riyadh: Dār al-Liwā’,1987
Amin Suma, Muhammad. ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali Press,2013.
AF, Hasanuddin. Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukumdalam Al-Qur’an. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1995.
 ‘Akk (al), Khālid ‘Abdullāh. Ushul al-Tafsir wa Qawāiduhu. Beirut: Dār al-Nafā’is,1986
Chirrin, Muhammad. Permata Al-Qur’an. Yogyakarta: Qirtas, 2003.
Departemen Agama Republik Indonesia. Muqaddimah Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: PT. Karya Toha Putra,2002.
Djalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu,2000.
Fathurrohman, Muhammad. Studi al-Qur’an. Yogyakarta: Sukses offset, 2014.
Kholis, Nur. Pengantar studi Al-Qur’an dan Hadits. Yogyakarta: Teras, 2009.
Na’mah (al), Ibrahim. ‘Ulum al-Qur’ān. T.tp: t.p, 2008.
Naisāburi (al), Abi al-Hasan ‘Ali bin Ahmad al-Wahidi Asbāb al-nuzul. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006
Qaththan (al), Manna Khalil. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,20013.
Qaththān (al), Mannā’. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’ān. T.tp: Mansyurāt al-‘Ashr al-Hadits,1973.
Siswa 2011, Purna. Al-Qur’ān Kita. Kediri: Lirboyo Press,2011.
Syadali, Ahmad. Ulumul Qur’ān.Bandung: Pustaka Setia,2000.
Zarqāni (al), Abd al-‘Azhim. Manāhil al-‘Irfān fi ‘Ulum al-Qur’ān, j.1. Kairo: Dār al-Hadits,2001.
















[1] Muhammad Abu Syahbah, al-Madkhal li Dirāsah al-Qur’ān al-Karim, (Riyadh: Dār al-Liwā’,1987),hal.24.
[2] Ibrahim al-Na’mah, ‘Ulum al-Qur’ān, (T.tp: t.p, 2008.), 6. 
[3] Mannā’ al-Qaththān, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’ān, (T.tp: Mansyurāt al-‘Ashr al-Hadits,1973.),15.
[4] ‘Abd al-‘Azhim al-Zarqāni, Manāhil al-‘Irfān fi ‘Ulum al-Qur’ān, j.1, (Kairo: Dār al-Hadits,2001),24.
[5] Ibrāhim al-Na’mah, ‘Ulum al-Qur’ān, hal.6. ‘Abd Al ‘Azhim al-Zarqāni, Manāhil al-‘Irfān, vol.1, (Kairo: Dār al-Hadits,2001.),28.
[6] Hāzim Sa’id Haidar, ‘Ulum al-Qur’ān bain al-Burhān wa al-Itqān: Dirāsah Muqāranah,63.
[7] Abu syahbah, al-Madkhal li Dirāsah al-Qur’ān al-Karim,27.
[8] Purna Siswa 2011, Al-Qur’ān Kita, (Kediri: Lirboyo Press,2011.),04.
[9] Khālid bin ‘Utsman al-Sabat, Manāhil al-‘Irfān li al-Zarqāni: Dirāsah wa Taqwiw,vol.1, (T.tp: Dār Ibn ‘Affān, t.th),24.
[10] ‘Abd Al ‘Azhim al-Zarqāni, Manāhil al-‘Irfān, vol.1,hal 28.
[11] Purna Siswa 2011, Al-Qur’ān Kita,05.
[12] Ibid.,05
[13] Ahmad Syadali, Ulumul Qur’ān, (Bandung: Pustaka Setia,2000.),31.
[14] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu,2000.),46.
[15] Lihat Ibn Abbas, Tanwir al-Maqbas min Tafsir Ibn Abbas, (Mauqi’u al-Tafāsir: Dalam software al-Maktabah al-Syamilah,2005.),192.
[16] Muhammad Badr al-Din al-Zarkasyi, Al-burhān fi ‘Ulum al-Qurān,j.1, (Beirut-Lubnan: ‘Isa al-Babi al-Halabi, t.t.),43-47.
[17] Muhammad Amin Suma, ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Press,2013.),36.
[18] Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Zarqāni, Manāhil al-‘Irfān fi ‘ulum al-Qurān, j.1, (t.k: ‘Isa al-Babi al-Halabi, t.t.),43-47.
[19] Djalal, Ulumul Qur’an,46.
[20] Manna Khalil Al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. MUdzakir, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,20013.), 89-92.

[21] Ibid.,95-99
[22] Jalālal-Din al-Suyuthi, al-Itqān fi ‘Ulum al-Qur’ān,vol.1,(Beirut: Dār al-Fikr,t.th),hal.32.
[23] ‘Abd al-‘Azhim al-Zarqāni, Manāhil al-‘Irfān fi ‘Ulum al-Qur’ān, vol.1,(Kairo: Dār al-Hadits,2001),hal.95.
[24] Khālid ‘Abdullāh al-‘Akk, Ushul al-Tafsir wa Qawāiduhu, (Beirut: Dār al-Nafā’is,1986),hal.99.
[25] Al-Zarqāni, Manāhil al-‘Irfān fi ‘Ulum al-Qur’ān, 95-96.

[26] Abi al-Hasan ‘Ali bin Ahmad al-Wahidi al-Naisāburi, Asbāb al-nuzul, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006),hal.61.
[27] Al-Naisāburi, Asbāb al-Nuzul,80.
[28] Al-Zarqāni, Manāhil al-‘Irfān fi ‘Ulum al-Qur’ān, vol.1, hal.97-101..
[29] Mana’ Khalil al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an), terj.Mudzakir ,(Bogor: Pustka Litera Antar Nusa,2007.),225.
[30] Muhammad Fathurrohman, Studi al-Qur’an, (Yogyakarta: Sukses offset, 2014.),193.
[31] Fathurrohman, Studi al-Qur’an,200.
[32] Muhammad Amin Suma, Ulimul qur’an, (Jakarta: Rajawali Press,2013.),73.
[33] Al-Zarkasyi, Al-Burhān fi ‘Ulum Al-Qur’ān, j.1, 1957, 252.
[34] Munawar Khalil, AL-Qur’an dari Masa ke Masa, (t.t),14.
[35] Amin Suma, Ulimul qur’an, 78.
[36] Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, op.cit.,hal.103.
[37] Amin Suma, Ulimul qur’an, 287.
[38] Ibid.,287
[39] Muhammad Fathurrohman, Studi al-Qur’an, (Yogyakarta: Sukses offset, 2014.),99.
[40] Ibid.,100
[41] Departemen Agama Republik Indonesia, Muqaddimah Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,2002.),18.
[42] Nur Kholis, Pengantar studi Al-Qur’an dan Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2009.),83.
[43] Fathurrohman, Studi al-Qur’an,104.
[44] Ibid.,105
[45]Ibid.,106

[46] Ibid.,107
[47] Ibid.,108
[48] Manna Khalil Al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. MUdzakir, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,20013.), 205.
[49] Hadits riwayat Ahmad dengan isnad Hasan.
[50] Al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. MUdzakir, 207.
[51] Ibid.,207-209
[52] Hadis Riwayat Muslim.
[53] Al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. MUdzakir, 213.
[54] Ibid.,213
[55] Manna Khalil Al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. MUdzakir, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,20013.), 213.
[56] Lihat al-Itwqān, jilid 2, halaman 168; dan al-Burhān oleh az-Zarkasyi, jilid 1, halaman 379.
[57] Al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. MUdzakir, 216.
[58] Ibid,.217.
[59] Muhammad Chirrin, Permata Al-Qur’an, (Yogyakarta: Qirtas, 2003.),19.
[60] Diperoleh secara langsung dengar mendengar bacaan Nabi Muhammad.
[61] Diperoleh dengan riwayat, bahwa qira’at tersebut dibacakan dihadapan Nabi dan Nabi membenarkannya.
[62] Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukumdalam Al-Qur’an, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1995.),130-131.
[63] Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an, terj. Anunur Rafiq El-Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2005.), 220-221.
[64] Nur Efendi, Muhammad Fathurrohman, Studi Al-Qur’an, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2014.),209.
[65] Ibid.,209

Tidak ada komentar:

Posting Komentar