RESUME BAHASA
INDONESIA UNTUK PERGURUAN TINGGI
KARYA Dr. R.
KUNJANA RAHARDI, M. Hum.
Tugas
Diajukan untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah
Bahasa Indonesia
Dosen Pengampu:
Miftakhul Huda, M.Pd

Oleh:
Muhammad Fachri Dzulfikar
NIM: 2014.01.01.272
PROGAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN
TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI) AL ANWAR
SARANG REMBANG
2014
RESUME
“BAHASA INDONESIA UNTUK PERGURUAN TINGGI”
KARYA
Dr. R. KUNJANA RAHARDI, M. Hum.
1. Pengantar
Buku
dengan judul “Bahasa indonesia untuk perguruan tinggi” karya Dr. R.
KUNJANA RAHARDI, M. Hum. sangatlah penting untuk dipelajari, khususnya bagi
mahasiswa untuk mempermudah memahami bahasa indonesia secara baik dan benar sesuai
dengan kaidah ejaan yang telah disempurnakan. Beliau adalah dosen luar biasa di Fakultas
Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Buku ini dicetak oleh Penerbit
Erlangga pada tahun 2009.
Buku
ini disusun dalam 7 bab, yang masing-masing diperinci menjadi sub-subbab yang
lebih terperinci. Di awal setiap bab disajikan rumusan kompetensi dasar dan
rumusan standar kompetensi untuk para mahasiswa mempelajari isi setiap isi bab.
Paper
ini merupakan tugas dari mata kuliah Bahasa Indonesia. Penulis meresume setiap
bab buku ini. Pemahaman buku ini masih perlu banyak penjelasan karena keterbatasan
penulis terhadap beberapa istilah yang
perlu dipahami secara tepat.
2.
Resume Bab Satu: jati diri bahasa
2.1
Arti Bahasa
Bahasa,masyarakat, dan budaya adalah
tiga etnis yang erat berpadu. Sosok bahasa sering disebut penanda (prevoir)
eksistensi budaya dari masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang maju
budayanya pasti juga berkembang baik entitas bahasanya. Bahasa yang baik juga
dapat menunjukkan keberadaan masyarakat. Maka, bahasa sering pula disebut
cermin masyarakatnya.
Entitas bahasa bersifat unik, khas,
dan tidak dimiliki bahasa-bahasa lainnya. Anderson (1972) menyebutkan delapan
prinsip dasar yang merupakan hakekat bahasa, yaitu :
a) Merupakan alat komunikasi
b) Bersifat kesemestaan
c) Bersifat kemanusiaan
d) Berkaitan dengan masyarakat dan budaya
e) Memiliki makna konvensional
f) Bersifat vocal
g) Merupakan symbol arbitrer
h) Merupakan system
2.2
Fungsi bahasa
Bahasa memiliki fungsi beragam, yaitu
:
Ø Fungsi instrumental adalah bahasa dapat
digunakan untuk melayani lingkungannya.
Ø Fungsi regulasi adalah bahasa digunakan
untuk mengatur serta mengendalikan orang-orang sebagai warga masyarakat
Ø Fungsi representasional adalah menggambar
atau mempresentasikan sesuatu.
Ø Fungsi interaksional adalah bahwa bahasa
dapat digunakan untuk menjamin terjadinya interaksi, memantapkan komunikasi,
dan mengukuhkan komunikasi dan interaksi antar warga masyarakat itu sendiri.
Ø Fungsi personal adalah bahasa dapat
digunakan untuk mengekspresikan maksud-maksud pribadi atau personal
Ø Fungfi heuristic adalah bahasa digunakan
untuk mempelajari pengetahuan, mencari ilmu, mengembangkan tekhnologi, dan
menyampaikan rumusan-rumusan yang bersifat pertanyaan.
Ø Fungsi imajinatif adalah fungsi bahasa yang
berkenaan dengan penciptaan imajinasi.
Dari
beberapa fungsi diatas, yang paling utama adalah fungsi interaksional, karena
bahasa menjadi piranti utama dalam berkomunikasi dan interaksi antar sesama.
2.3
Ragam bahasa
Bahasa Indonesia memiliki ragam bahasa
yang tidak sedikit jumlahnya.
1. Ragam bahasa berdasarkan waktunya
Dalam
konteks waktu, bahasa dapat diperinci menjadi :
1. Bahasa ragam lama atau kuno
2. Bahasa ragam baru atau modern
3. Bahasa ragam kontemporer, yakni ragam bahasa
yang banyak mencuat akhir-akhir ini.
Dengan
bahasa laras lama atau bahasa ragam kuno dapat dilacak keberadaan atau
eksistensi berikut makna sejumlah dokumen kuno, aneka prasasti, dan
tulisan-tulisan yang tertuang dalam piranti yang masih sangat sederhana itu.
Selanjutnya,
setelah ragam bahasa kuno adalah bahasa dalam ragam baru. Dengan ragam baru
bahasa itu dimungkinkan terjadi pula inovasi-inovasi kebahasaan yang baru.
Dengan bahasa ragam baru pula perkembangan masa depannya akan dapat
diprediksikan.
Dalam
banyak literatur memang sama sekali tidak ditemukan ragam bahasa kontemporer.
Adapun yang dimaksud adalah entitas bahsa dalam wujud perkembangannya yang
sekarang ini, yang telah melahirkan bentuk-bentuk kebahasaan baru yang
cenderung mengabaikan kaidah-kaidah kebahasaan yang sudah ada itu.
Selain
ditandai penyimpangan-penyimpangan aturan kebahasaan, bahasa kontemporer juga
cenderung tidak peduli dengan pembedaan fungsi bahasa dalam kaitan dengan
kedudukan sebagaimana telah disampaikan
dibagian depan.
2. Ragam bahasa berdasarkan medianya
Jika dilihat dari dimensi medianya,
bahasa dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
a) Bahasa ragam lisan
b) Bahasan ragam tulis
Bahasa ragam lisan lazimnya ditndai
dan ditentukan oleh penggunaan aksen-aksen bicara atau penekanan –penekanan
tertentu dalam aktifitas bertutur, pemakaian intonasi atau lagu kalimat
tertentu.
Bahasa ragam lisan selanjutnya dapat
diperici menjadi dua, yakni (a) bahasa ragam lisan baku dan (b) bahasa ragam
lisan tidak baku. Bahasa ragam lisan baku kelihatan seperti orang sedang
ceramah, presentasi, dan lain-lain. Bahasa ragam lisan tidak baku juga
kelihatan seperti ngobrol dengan santai.
Selanjutnya yang dimaksud dengan
bahasa ragam tulis bahasa yang hanya tepat muncul dalam konteks tertulis.
3. Ragam bahasa berdasarkan pesan komunikasinya
Apabila didasarkan pada kandungan
pesan komunikasinya, bahasa dapat dibedakan menjadi :
a) Bahasa ragam ilmiah
b) Bahasa ragam sastra
c) Bahasa ragam pidato
d) Bahasa ragam berita
Ragam
ilmiah biasanya digunakan dalam dua manifestasi, yakni dalam karya ilmiah
akademis dan dalam karya ilmiah popular. Karya ilmiah akademis di perguruan
tinggi biasanya akaln meliputi artikel ilmiah, makalah ilmiyah, jurnal ilmiah,
surat-menyurat, dan lain-lain. Adapun karya ilmiah populer bias meliputi
esai-esai ilmiah populer,
catatan-catatan ilmiah populer, opini-opini di media massa, dan
lain-lain.
3.
Resume Bab Dua: Ihwal diksi
3.1
Peranti-peranti diksi
1. Peranti kata berdenotasi dan berkonotasi
v Kata berdenotasi
Dalam studi linguistic ditegaskan
bahwa kata yangtidak mengandung makna tambahan atau perasaan tambahan makna
tertentu disebut denotasi. Jadi makna denotasi dapat disebut makna yang
sebenarnya, seperti peranti duduk yang namanya “kursi”, maka peranti , untuk
duduk itu disebut sebagai “kursi”. Kata “kursi” dalam hal ini memiliki makna
apa adanya.
v Kata berkonotasi
Kata berkonotasi ialah makna kias, bukan
makna sebenarnya. Makna konotasi memiliki nuansa makna subjektif dan cendeerung
digunakan dalam situasi tidak formal, seperti “dengan memanjatkat puji syukur
kepada…..”, pemakaian kata “memanjatkan” dalam kalimat tersebut jelas
sekali menggunakan makna konotasi bukan denotasi.
2. Peranti kata bersinonim dan berantonim
Kata “bersinonim”
berarti kata sejenis, sepadan, sejajar, serumpun, dan memiliki arti sama.
Secara lebih gampang dapat dikatakan bahwa sinonim sesungguhnya ada persamaan
makna kata. Adapun yang dimaksud adalah dua kata atau lebih yang berbeda
bentuknya, ejaannya, pengucapan atau lafaldnya, tetapi memiliki makna sama atau
hampir sama, contoh: hamil dan mengandung, kedua bentuk tersebut dapat
dikatakan bersinonim karena bentuknya berbeda tetapi maknanya sama.
Kata “berantonim”
berlawanan dengan kata “bersinonim”. Bentuk kebahasaan tertentu akan dapat
dikatakan berantonim jika bentuk itu memiliki makna yang tidak sama atau
berlawanan. Seperti contoh kata “panas dan dingin”, kedua kata tersebut
mempunyai makna yang berlawanan.
3. Peranti kata bernilai Rasa
Diksi atau pilihan kata juga mengajarkan
untuk senantiasa menggunakan kata-kata yang bernilai rasa dengan cermat, guna
untuk mengindahkan kata-kata. Bahasa juga perlu dalam pemakaiannya lebih di
perhatikan dan di pertimbangkan, agar dapat menyangkut dengan konteksnya.
4. Peranti kata konkret dan abstrak
Kata-kata konkret adalah kata-kata yang
menunjukkan pada objek yang dapat dipilih, didengar, dirasakan, diraba, atau
dicium. Kata-kata konkret lebih mudah dipahami daripada kata-kata abstrak
Kata-kata abstrak menunjuk pada konsep atau
gagasan. Kata-kata abstrak sering dipakai untuk mengungkapkan gagasan yang
cenderung rumit. Kata abstrak digunakan untuk membuat deskripsi,beberapa juga
untuk narasi.
5. Peranti keumuman dan kekhususan kata
Kata umum adalah kata yang perlu dijabarkan
lebih lanjut dengan kata yang sifatnya khusus untuk mendapatkan perincian lebih
baik. Kata umum lebih tepat digunakan untuk argumentasi atau persuasi, karena
dalam pemakaian yang disebutkan terakhin itu akan dibuka
kemungkinan-kemungkinan penafsiran yang lebih luas, yang lebih umum, yang lebih
komprehensif sebagai imbangan kata-kata umum adalah kata-kata khusus.
Dalam banyak hal, kata-kata khusus memang
merupakan kebalikan kata-kata umum. Kata-kata khusus cenderung digunakan dalam
konteks terbatas, maka lazim pula dipahami bahwa kata-kata khusus adalah
kata-kata yang sempit ruang lingkupnya, terbatas konteks pemakaiannya.
6. Peranti kelugasan kata
Diksi juga mengajarkan kita ihwal kata-kata
lugas, apa adanya. Kata-kata lugas
adalah kata-kata yang sekaligus juga ringkas , tidak merupakan frasa panjang,
tidak mendayu-dayu, dan sama sekali tidak berbelit-belit. Ketika konteks
pemakaian kebahasaan itu adalah untuk menyatakan kebasi-basian dan kesantunan,
sudah barang tentu pemakaian bentuk-bentuk kebahasaan yang lugas itu tidak
tepat.
7. Peranti penyempitan dan perluasan makna kata
Sebuah kata dapat dikatakan mengalami
penyempitan makna apabila didalam kurun waktu tertentu maknanya bergeser dari
semula yang luas ke makna yang sempit atau sangat terbatas.
Sebagai imbangan dari penyempitan makna
kata adalah perluasan makna kata. Sebuah makna kebebasan dikatakan akan meluas
jika dalam kurun waktu ternentu maknanya akan bergeser dari yang semula sempit
ke makna yang lebih luas.
8. Peranti keaktifan dan kepasifan kata
Dalam kerangka diksi atau pemilihan kata
yang dimaksud dengan kata-kata aktif adalah kata-kata yanga banyak digunakan
oleh tokoh masyarakat.
Pemakaian bahasa kontemporer yang terjadi
sekarang ini banyak menjadi bukti sekaligus saksi akan banyak dilahirkannya
kata-kata yang baru, kata-kata yang semula tidak pernah digunakan itu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
kata-kata yang semula tidak pernah digunakan akan menjadi aktif jika digunakan.
9. Peranti ameliorasi dan peyorasi
Ameliorasi adalah proses perubahan makna
dari yang lama ke yang baru ketika bentuk yang baru dianggap dan dirasakan
lebih tinggi dan lebih tepat nilai rasa serta konotasinya dibandingkan dengan
yang lama.
Sebagai imbangan dari ameliorasi adalah
peyorasi. Maksudnya adalah perubahan makna dari yang baru ke yang lama ketika
yang lama dianggap masih tetap lebih tinggi dan lebih tetap nilai rasa serta
konotasinya dibandingkan dengan makna yang baru.
10. Peranti kesenyawaan kata
Bentuk idiomatis atau bentuk bersenyawa, sesuai dengan
namanya, tidak dapat dipisahkan begitu saja oleh siapapun. Dikatakan sebagai
bentuk senyawa karena bentuk demikian itu sudah sangat erat hubungan antara
satu dengan dengan yang lainnya. Jadi didalam konstruksi idiomatis kata yang
satu dengan kata yang lainnya itu berhubungan erat, lekat, dan tidak dapat
dipisahkan oleh alasan apapun juga.
11. Peranti kebakuan dan ketidakbakuan kata
Bentuk baku hadir karena adanya pembakuan
bentuk-bentuk kebahasaan. Pembakuan bahasa demikian itu pada gilirannya akan
menjadikan bangsa Indonesia semakin bermartabat.
Bilamana bahasa baku tersebut digunakan
oleh masyarakat internasional, maka jadilah bahasa itu bahasa yang berharkat
dan bermartabat tinggi.
3.2
Ihwal peristilahan
Istilah dapat didefinisikan sebagai
kata atau gabungan kata yang dapat dengan cermat mengungkapkan makna konsep,
proses, keadaan, atau sifat yang khas dibidang kehidupan dan cabang ilmu
pengetahuan tertentu. Istilah itu sendiri dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu
istilah yang sifatnya khusus dan istilah yang sifatnya umum.
Bentuk-bentuk kebebasan yang hanya
lazim digunakan dalam bidang tertentu dapat dikatakan sebagai bentuk-bentuk
yang sifatnya khusus. Sebagail imbangan dari kata-kata yang sifatnya khusus
adalah kata-kata yang sifatnya umum yaitu kata-kata yang memiliki kandungan
makna yang banyak dan bermacam-macam .
4.
Resume Bab Tiga : Ihwal Kalimat
4.1 Kelas kata
Kata dalam bahasa Indonesia
yang jumlahnya luar biasa banyak itu mustahil dapat dipelajari dengan mudah
kalau tidak di kelas-kelaskan terlebih
dahulu. Nah, hasil dari pengelaskataan atau pengelompokan kata-kata
itulah yang kemudian lazim disebut dengan kelas kata.
1. Verba
Verba atau kata
kerja lazimnya dapat didefinisikan dengan menggunakan tiga macam cara.
a) Dengan mencermati bentuk morfologisnya
b) Dengan mencermati perilaku sintaksisnya
c) Dengan mencermati perilaku semantisnya
Berdasarkan
ciri morfologisnya, verba didalam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi :
a) Verba dasar atau verba yang tidak berafiks
b) Verba berafiks
c) Verba yang merupakan perulangan atau
reduplikasi
d) Verba yang merupakan bentuk majemuk
Berdasarkan
fungsinya atau sering disebut sebagai perilaku sintaksisnya, verba dapat
dibedakan menjadi :
a) Verba yang menduduki fungsi subjek
b) Verba yang menduduki posisi keterangan
c) Verba yang menduduki posisi objek
Dari
sisi pembentukannya, verba juga dapat dibentuk dari nomina. Verba atau kata
kerja yang demikian ini disebut sebagai verba denominal, misalnya “berbudaya
dan mencangkul” yang dibentuk dari dasar nomina “budaya dan cangkul”. Selain
itu ada juga verba adjektifa, contoh mengakhiri dan mengawali.
2. Adjektiva
Adjektiva lazim disebut juga
kata sifat. Dari dimensi wujud atau bentuknya dapat dikenali adjektifa dasar,
seperti cantik, adil.
Adjektiva dari dimensi
bentuknya merupakan gabungan atau perpaduan dua adjektiva, misalnya cantik
jelita dan aman sentausa.
Adjektifa dapat didampingi dengan kata-kata
berikut, sangat, agak, lebih, paling.
3. Nomina
Nomina disebut juga kata
benda. Dari dimensi bentuknya, nomina dapat dibedakan menjadi dua, yakni nomina
dasar dan nomina bentukan atau turunan. Nomina dasar ialah nomina yang belum
mendapatkan imbuhan apapun, contoh : buku, meja, rumah. Nomina turunan ialah
nomina yang sudah mendapatkan imbuhan.
4. Pronominal
Pronominal
disebut juga sebagai kata ganti. Dikatakan sebagai kata ganti karena
sesungguhnya pronomina itu berfungsi menggantikan nomina yang menjadi
antesedennya.
Dari sisi bentuknya, nomina
dapat dibedakan menjadi :
a) Nomina persona
b) Nomina penunjuk
c) Nomina penanya
Nomina
persona dapat menunjukkan orang, baik dalam hitungan tunggal maupun banyak.
Tunggal : saya, aku, daku, dan –ku. Jamak : kami, kamu, kalian,
mereka.
Selain
menunjukkan pada persona, pronominal juga dapat nomina penunjuk, seperti : itu,
ini, sana, sini. Pronominal dapat juga berfungsi sebagai pronominal
penanya, misalnya : mengapa, lenapa, bagaimana.
5. Numeralia
Numeralia sering disebut juga
kata bilangan. Kata itu digunakan untuk menghitung jumlah orang, binatang,
barang, dan juga sebuah konsep.
Dalam bahasa Indonesia
dibedakan dua macam numeralia, yaitu numeralia pokok dan numeralia tingkat.
Numeralia pokok digunakan untuk menjawab pertanyaan “berapa”, sedangkan
numeralia tingkat digunakan untuk menjawab pertanyaan “kebrapa”.
6. Adverbial
Adverbia sering disebut juga
kata keterangan. Dapat dikatakan keterangan karena kata-kata itu memberikan
keterangan pada verba, adjektiva, nomina predikatif, atau pada kata kalimat
secara keseluruhan.
Dari dimensi bentuknya,
terdapat dua macam adverbia dlam bahasa Indonesia, yakni :
·
Adverbia
monomorfemis
·
Adverbia
polimorfemis
Dikatakan sebagai adverbia
monomorfemis karena adverbial itu hanya terdiri dari satu bentuk, seperti
sangat, hanya, segera, agak, akan. Dapat dikatakan adverbia polimorfemis karena
bentuknya lebih dari satu morfem, misalnya belum tentu, jangan-jangan,
lebih-lebih, mula-mula.
Dari sisi perilaku
sintaksisnya, adverbial dapat merupakan kata yang mendahului kata yang
diterngkan, seperti pada “puisi itu sangat indah”, kata sangat adalah adverbia
dan tugasnya adalah menjelaskan “indah” yang berada dibelakangnya.
4.2 Frasa
Frasa
atau kelompok kata adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata dan
hubungan kata itu bersifat nonprediktif. Yang perlu digaris bawahi dalam
pembahasan frasa ialah hubungan antar
kata dan kata yang lain di dalam kata tersebut.
Secara
umum, frasa atau kelompok kata itu dapat dibedakan menjadi dua, yakni frasa
eksosentris dan frasa endosentris. Frasa eksosentris tidak memiliki perilaku sintaksis yang sama
dengan semua komponennya, contoh : dengan sabar, dengan baik, dari rumah, pada
hari. Frasa endosentris ialah frasa yang seluruh bagiannya memiliki perilaku
sintaksis yang sama dengan perilaku
salah satu komponen tersebut. Frasa endosentris dapat dibedakan menjadi
dua, yakni frasa endosentris tunggal dan frasa endosentris jamak. Contoh frasa
endosentris tunggal ialah fendi anak bapak kunjana yang masaih kecil itu
senang membuat puisi. Contoh frasa endosentris jamak ialah saya tetap mencintainya,
baik kaya maupun miskin.
Frasa
endosentris tunggal dapat dibedakan menjadi menjadi frasa berikut ini, yaitu :
1. Frasa nominal
Frasa yang terdiri dari nomina sebagai
induk atau sebagai pusat dan unsure lain yang yang berupa adjektifa, verba,
numeralia, dan lain-lain. Contoh : kursi rotan, kawan seperjuangan, sosok yang
terpandang, wanita cantik jelita.
2. Frasa verba
Frasa verba merupakan gabungan antara
verba dengan verba, verba dengan adverbia atau yang lainnya. Contoh :pergi ke
jakarta, berangkat tidur, tidur dengan nyenyak.
3. Frasa adjektiva
Frasa adjektiva ialah frasa yang
merupakan gabungan antara adjektifa dengan komponen yang lainnya, sedangkan
frasa yang lainnya berfungsi sebagai penjelas. Contoh : panas terik, agak
sulit, cantik sekali, cerdik cendekia.
4. Frasa numeralia
Frasa numeralia ialah frasa yang
merupakan gabungan antara numeralia dengan unsur-unsur lainnya. Di dalam
konstruksi frasa itu, numeralialah yang menjadi induk atau frasanya. Contoh :
dua puluh, dua ekor, dua lusin.
5. Frasa preposisional
Frasa preposisional ialah frasa yang
induknya adalah preposisi. Contoh : dari, oleh, dan untuk.
4.3 Klausa
1. Pengertian klausa
Klausa adalah suatu kebahasaan
yang merupakan gabungan kelompok kata yang setidaknya terdiri dari atas subjek
dan predikat. Klausa bersifat predikatif dan berpotensi untuk dijadikan
kalimat.
2. Klausa pada kalimat majemuk setara
Klausa-klausa
didalam kalimat majemuk setara masing-masing dapat berdiri sendiri sebagai
kalimat.
Hubungan
antar kalimat di dalam kalimat majemuk setara dapat dibedakan menjadi tiga,
yakni :
·
hubungan
koordinatif yang sifatnya aditif
·
hubungan
koordinatif yang sifatnya adversative
·
hubungan
koordinatif yang sifatnya alternative
Jenis yang pertama bersifat
menambahkan, bersifat menjumlahkan, dan lazimnya menggunakan konjungsi dan,
serta, bersama. Jenis yang kedua ialah adversatif, arinya bertentangan.
Konjungsi yang lazim digunakan ialah tetapi, melainkan, dan sedangkan.
Jenis yang ketiga ialah bersifat alternative atau pilihan, maksudnya ialah
bahwa kalausa yang dihubungkan itu merupakan pilihan bagi klausa yang
disampaikan sebelumnya. Konjungsi yang lazim digunakan ialah atau atau ataukah
seperti pada kalimat berikut, “Aku harus tetap berbohong untuk menyimpan
rahasia, ataukah harus berterus terang saja?”
3. Klausa pada kalimat majemuk bertingkat
Hubungan antar antar klausa pada
kalimat majemuk bertingkat bersifat subordinatif , maksunya klausa yang satu
berinduk atau menjadi sub bagi klausa yang lainnya. Klausa yang satu menjadi
atasan, dan klausa yang lainnya menjadi bawahan, atau klausa yang satu menjadi
induk, sedangkan klausa yang lainnya menjadi anaknya. Hubungan klausa
demikianlah yang disebut dengan hubungan yang bersifat hierarkis atau
subordinatif.
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa sebagian kalimat majemuk bertingkat yang diawali oleh konjungsi
subordinatif itu pasti adalah anak kalimatnya, bukan induk kalimatnya.
Konjungsi itu memiliki hubungan makna yang bermacam-macam. Ada konjungsi yang
menyatakan sebab, seperti karena, sebab, lantaran,. Bentuk olehk karea,
karenanya, karena itu, oleh karena itu, jangan pernah dianggap sebagai
konjungsi subordinatif dalam bahasa Indonesia.
4.4
Kalimat
1. Pengertian kalimat
Kalimat dapat dipahami sebagai
satuan bahasa terkecil yang dapat digunakan untuk menyampaikan ide atau
gagasan. Pakar berbeda menyatakan bahwa kalimat adalah satuan bahasa yang
secara relative berdiri sendiri, mempunyai intonasi akhir, dan secara actual
dan potensial terdiri atas klausa.
Jadi, tidak salah pula kalau di
katakan bahwa sesungguhnya sebuah kalimat membicarakan hubungan antara klausa
yang satu dan yang lainnya.
2. Unsur-unsur kalimat
A. Subjek
Unsur
pembentuk kalimat yang harus disebut pertama disini adalah subjek. Dalam
kalimat, subjek tidak selalu berada di depan. Ada kalanya berada di belakang
predikat, teruama kalimat yang berdiatesis pasif.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk
mengetahui kebera subjek kalimat.
Cara yang pertama adalah dengan menggunakan
pertanyaan, siapa + yang + predikat apabila subjek itu adalah subjek orang,
atau apa + yang + predikat bilamana yang menjadi subjek itu bukan orang. Contoh
: Tuti sudah dikawinkan dengan pria pilihan ayahnya. Jika formulasi demikian
diterapkan, maka maka pertanyaannya akan berbunyi “siapa yang sudah dikawinkan
dengan pria pilihan ayahnya? “. Jawabannya adalah “Tuti”. Maka, subjek kaliamat
itu adalah “Tuti”.
B. Predikat
Sama-sama menjadi unsure dalam sebuah kalimat,
predikat memiliki karakter yang tidak sama dengan subjek. Akan tetapi, kejatian
sebuah subjek menjadi jelas juga karena ada subjek kalimatnya.
Cara yang paling mudah untuk mengidentifikasi
predikat kalimat adalah dengan menggunakan formula pertanyaan “bagaimana atau
mengapa”. Bilamana dicermati dari dimensi maknanya, bagian kalimat yang
memberikan informasi ihwal pertanyaan “bagaimana dan mengapa” adalah predikat
itu. Contoh : dia bukan mahasiswa kampus itu lagi sejak 2008. Jadi jelas,
bagian kalimat yang mengikuti penegasi “tidak” dan “bukan” inilah predikat
kalimatnya.
C. Objek
Dalam banyak hal dapat dikatakan bahwa objek
kalimat berlawanan dengan subjek kalimat. Objek kalimat hanya dimungkinkan
hadir apabila predikat kalimat tersebut merupakan verba atau kata kerja yang
sifatnya transitif.
Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa
objek kalimat itu tidak akan hadir di dalam kalimat apabila :
1. Tidak terdapat dalam kalimat pasif
2. Kalimat itu merupakan kalimat dengan
verba
instransitif.
Contoh :
·
Fendi
dilahirkan di yogjakarta
·
Bukunya
bernilai sangat tinggi
D. Pelengkap
Dalam kalimat pasif, pelengkap
tidak dapat menempati fungsi subjek. Pada posisi yang sama, objek dapat
menempatinya. Maka inilah sesungguhnya perbedaan mendasar antara objek dan
pelengkap.
Contoh : ~
Ibu member saya baju baru
~ Fendi berjualan buku
cerita.
E. Keterangan
Keterangan adalah unsure kalimat yang
sifatnya tidak wajib hadir. Berbeda dengan subjek, predikat, objek, dan
pelengkap yang sifatnya wajib hadir. Adapun fungsinya adalah untuk menambahkan
informasi pada kalimat itu.
3. Sruktur kalimat
a. Struktur kalimat dasar
Kalimat
dasar,atau kalimat tunggal, atau kalimat sederhana ialah kalimat yang hanya
memiliki satu subjek dan satu predikat. Kalimat dasar dapat berwujud tiga
macam, yaitu kalimat tunggal murni, seperti pada bentuk, “Adik tidur”. Kailmat
dasar dapat juga berupa kalimat yang diperluas dengan keterangan tertentu,
misalnya adik menangis di belakan kebun. Sekalipun bentuk bahasanya panjang,
karena kalimat tersebut hanya terdiri dari satu subjek dan predikat.
b. Stuktur kalimat majemuk
Kalimat
majemuk jenis yang pertama adalah kalmiat majemuk setara. Konstruksi kalimat
majemuk setara sesungguhnya sangat sederhana, yakni hanya beberapa kalimat
dasar atau kalimat tunggal yang kemudian digabungkan dengan konjungsi atau kata
penghubung.
Adapun
konjungsinya ialah dan, atau, sedangkan, tetapi, dan melainkan. Contoh:
adik sedang tidur, sedangkan ibu sedang memasak di dapur.
4.
Kalimat efektif
a. Definisi kalimat efektif
Kalimat
efktif adalah kalimat yang tidak cukup
dipahami hanya sebagai satuan kebhasaan terkecil yang dapat digunakan untuk
mengungkapkan ide atau gagasan yang utuh.
Demikian
pula dalam konteks tuturan lisan, sebuah tuturan yang efektif itu harus dapat
membangkitkan kembali gagasan yang dimiliki oleh pendengar.
b. Prinsip-prinip efektifitas kalimat
Prinsip
utama yaitu bahwa kalimat itu harus disusun dengan mempertimbangkan dan
memperhitungkan kesepadanan bentuk atau kesepadanan setrukturnya. Contoh : adik
kecil yang menangis.
5.
Resume Bab Empat: Ihwal Paragraf
5.1
Pengertian paragraph
Paragraf
ialah segala sesuatu yang lazim terdapat didalam karangan atau tulisan, sesuai
dengan prinsip dan tata kerja karang-mengarang dan tulis-menulis terdapat pula
dalam paragraf.
5.2
Ide utama dan kalimat utama dalam paragraph
Perlu
digaris bawahi, sebuah paragraph muthlak harus memiliki ide pokok, ide pokok
itulah pengendali dari bangunan paragraf itu.
Jadi,
kalimat utama atau kalimat pokok paragraph itu harus berisi ide utama dari
paragraph yang bersangkutan. Ambil saja contoh, ide pokok paragraf yang
berbunyi ”lambatnya penelitian”, maka ide pokok paragraph itu dapat dikemas
menjadi sebuah kalimat utama yang berbunyi
“ lalmbatnya penelitian di Indonesia disebabkan oleh rendahnya insentif
bagi para peneliti.
1. Kalimat utama diawal paragraph
Kalimat
utama diawal paragraf yaitu perincian
dan jabaran bagi kalimat utama tersebut akan menyertainya pada kalimat yang
berikutnya. Alur pikiran yang diterapkan dalam paragraph dengan kalimat utama
yang berada diawal paragraph yang demikian ini adalah alur piker deduktif.
2. Kalimat utama di akhir paragraph
Kalimat
pokok yang tempatnya di akhir paragraph terlebih dahulu di awali dengan
kalimat-kalimat penjelas. Nah, pada akhir paragraph, semua yang telah disajikan
di dalam bagian awal hingga pertengahan paragraph itu kemudian disimpulkan di
akhir paragraph.
3. Kalimaat
utama di dalam paragraph
Paragraph
jenis demikian ini, ada yang menyutnya sebagai paragraph ineratif. Jadi,
didalam paragraph tersebut kalimat utama yang terdapat di tengah paragraph ini
diibaratkan sebagai puncak. Kalimat-kalimat yang berada diawal paragraph itu
dapat dikatakan sebagai awal-awal menuju puncak, menuju klimaks paragraph,
sedangkan kalimat-kalimat yang berada setelah kalimat-kalimat itu, sekalipun
merupakan kalimat penjelas, derajatnya semakin lemah.
4.
Kalimat
utama di awal dan di akhir paragraph
Paragraph yang kalimat utamanya di awal
dan di akhir paragraph demikian ini disebut sebagai paragraph yang beralur
pikir abduktif.
a.
Kalimat
penjelas
Dapat
dikatakan sebagai kalimat penjelas karena tugas dari kalimat itu me mang menjelaskan dan menjadi lebih lanjut
ide pokok dan kalimat utama yang terdapat dalam paragraph tersebut. Jadi
kalimat penjelas yang baik sesungguhnya akan menjadi penentu pokok dari
benar-benar baik dan tuntasnya paragraph tersebut.
1. Kalimat penjelas mayor
Kalimat
penjelas mayor adalah kalimat penjelas yang utama. Kalimat penjelas yang utama
itu bertugas menjelaskan secara langsung ide pokok dan kalimat utama yang
terdapat didalam paragraph itu.
2. Kalimat penjelas minor
Dikatakan
sebagai kalimat penjelas minor karena kalimat penjelas itu tidak secara
langsung menjelaskan ise pokok dan kalimat utama paragraph. Jadi seuah kalimat
penjelas minor yang telah menjelaskan secara lansung kalimat penjelas utama
tertentu tidak serta merta dapat digunakan untuk menjelaskan kalimat penjelas
utama yang lain.
5. Kalimat penegas
Dalam konteks pemakaian paragraph, kehadiran
sebuah kalimat penegas didalam paragraph, menjadi sangat lebih dipentingkan
oleh penulis. Satu hal yang juga yang juga harus dicatat oleh para penyusun
paragraph, dan para penulis pada umumnya kalimat penegas demikian itu bukanlah
ide pokok dan kalimat pokok baru.
6.
Resume Bab lima: Ihwal karya ilmiyah akademik
6.1
Ihwal karangan ilmiah
Menulis
bagi banyak orang memang sangat tidak mudah. Bagi sementara orang yang lain
lagi justru terjadi sebalinya, menulis adalah sesuatu yang mudah dan sangat
menyenangkan. Berkaitan dengan hal ini, sesungguhnya ihwal kebiasaan membaca
memiliki peran dan pengaruh yang sangat besar dalam menjadikan orang merasakan
mudah ataukah sulit di dalam aktifitas menulis itu.
6.2
Lebih mengenali karangan ilmiah
Bias
dikatakan sebagai hal yang ilmiah karena sesungguhnya dimensi-dimensi keilmuan
menjadi kandungan pokoknya dalam tulisan. Secara khusus dapat dijelaskan lebih
lanjut bahwa yang dimaksud dengan ilmiah itu berkaitan sangat erat dengan
dimensi-dimensi berikuti ini.
1.
Fakta/data
sebagai dasar
Sebuah
tulisan akan dapat dianggap sebagai hal yang sifatnya ilmiah karena dapat dasar
pokoknya adalah data atau fakta. Jadi, setiap tulisan ilmiah itu bahan pokoknya
adalah data atau fakta. Data bagi sebuah karya ilmiah harus berkualifikasi
sempurna.
2.
Pemikiran
analisis dan konklusi logis.
Sebuah
karangan ilmiah juga harus memenuhi ketiga dimensi kelogisan di dalam tiga hal,
yakni pemikiran atau penalarannya, analisis atau pembahasannya, dan penarikan
kesimpulan.
Nah,
apabila dimensi ilmiah demikian sudah semuanya di lakukan, maka jadilah
karangan ilmiah dengan tulisan yang berkualitas baik, bahkan boleh pula
dikatakan sempurna.
3.
Objektif
dan tidak berpihak
Salah
satu yang harus di perhatikan dan ternyata sangat penting di dalam sebuah
karangan ilmiah adalah bahwa pembahasan atau analisis yang dilakukan harus
benar-benar objektif.
Dalam hal ini, yang dimaksud adalah
kebenaran ilmiah. Maka, analisis yang harus dilakukan tidak boleh bersifat
subjektif, melainkan harus objektif.
4.
Akurat
dan sistematis
Semua yang disajikan dalam karya
ilmiah itu harus bersifat sistemik dan sistematik. Adapun yang dimaksud dengan
sistemik itu ialah bahwa karya ilmiah harus sepenuhnya mengacu kepada system
atau tata cara ilmiah tertentu yang sifatnya konvensional dan sekaligus
universal.
Selanjutnya
dapat dikatakan sistematis apabila pengaturan dan penataannya runtut sesuai
dengan urutan yang berlaku umum sebagai karya ilmiah.
5.
Tidak
emosional
Karya
ilmiah tidak boleh bernuansa emosional. Maka bahasa yang digunakan juga tidak
boleh penuh dengan nuansa dan perasaan yang penuh dengan keharuan dan syarat
dengan permohonan maaf. Lazimnya pula, bahasa yang emosional itu disajikan dengan
nuansa kata yang berbelit- belit, tidak langsung pada persoalan atau
sasarannya.
6.3 Asas-asas menulis karangan ilmiah
1.
Kejelasan
(clarity)
Karangan
ilmiah harus konkret dan jelas. Tidak boleh bersifat samar-samar, tidak boleh
kabur, dan tidak boleh di wilayah abu-abu.
2.
Ketepatan
(accuracy)
Karangan
ilmiah menjunjung tinggi keakuratan. Hasil penelitian ilmiah dan cara penyajian
hasil penelitian itu haruslah tepat atau akurat, penulis atau peneliti harus
sangat cermat, sangat teliti, dan tidak boleh sembrono.
3.
Keringkasan
(brevity)
Karangan
ilmiah haruslah ringkas. Ringkas tidak sama dengan pendek. Jadi, karangan
ilmiah itu tidak boleh menghamburkan kata-kata , tidak boleh mengulang-ulang
ide yang telah di ungkapkan, dan tidak berputar-putar dalam mengungkapkan
maksud atau gagasan.
6.4
Kerangka
karangan
Dengan
rumusan tama karangan yang baik, kalimat tesis yang baik, judul karangan yang
baik, tujuan karangan yang jelas, akan dapat dijamin lahirnya karangan atau
tulisan yang baik pula.
Secara
umum, kerangka karangan dapat dianggap sebagai rencana penulisan yang
mengandung ketentuan bagaimana kita akan menyusun sebuah karangan.
I.
Pendahuluan
1.
Latar
belakang membahas…….
2.
Masalah
merumuskan…….
3.
Tujuan
berisi upaya……
II.
Masalah
remaja
1.
Pergaulan
bebas
2.
Ketergantungan
obat
3.
….
III.
Penutup
1.
Kesimpulan
2.
Saran.
7.
Resume Bab Enam: Ihwal resensi
7.1
Resensi
1. Pengertian resensi
Resensi
umumnya dipahami sebagai alasan dan penilaian terhadap sebuah karya. Karya
tersebut dapat bermacam-macam, mungki film, mungkin buku, karya seni, atau
mungkin pela produk teknologi.
Hal
yang perlu di perhatikan dalam meresensi yaitu : tingkat keahlian, pengalaman
dan cakrawala pandang penulisnya, analisis di dalam penyajian materinya,
analisis kebahasaannya, ketajaman dan kekuatan topic serta pembahasannya, kekuatan
ekspresinya, kekuatan intelektualnya.
Tujuan
pokoknya ialah agar pembaca tertarik untuk membaca secara langsung buku yang
sedang diresensi tersebut.
2. Pertimbangan
Di
depan sudah disampaikan bahwa dalam resensi tidak boleh hanya menyampaikan
kekurangan buku yang sedang diresensinya. Akan tetapi, harus menunjukkan
dimensi-dimensi positifnya dari bukku yang diresensi tersebut.
Secara
khusus penulis hendak menegaskan bahwa pertimbangan-pertimbangan yang harus
dibuat oleh peresensi itu dapat mencakup keinginan pengarangnya, kepentingan
dari pembaca, dan materi atau esensi dari karya yang sedang diresensi tersebut.
3. Prinsip resensi
Beberapa
hal berikut yang harus di pertimbangkan dan di perhatikan dalam membuat resensi
:
Ø Bahasa yang digunakan harus jelas, tegas,
tajam , akurat
Ø Pilihan kata yang digunakan harus baik,
tepat, tidak konotatif
Ø Format dan isi reseni harus disesuaikan
dengan kompetensi, minat, dan motifasi pembaca.
Ø Objek seimbang dan proporsional dalam
menyampaikan timbangan terhadap buku atau hasil karya.
4. Unsur-unsur reseni
Berikut
ini disajikan beberapa unsure yang harus dijadikan pertimbangan dalam resensi :
Ø Estetika perwajahan karya yang sedang
diresensi
Ø Latar balakang penulisan dan pengalaman
penulis
Ø Tema dan judul dikaitkan dengan minat
pembacanya
Ø Penyajian dan sistematika karya yang sedang
diresensi
Ø Deskripsi teknis buku atau karya yang sedang
diresensi
Ø Jenis buku atau karya yang sedang diresensi
Ø Keunggulan buku atau karya yang sedang
diresensi
Ø Kelemahan buku yang atau karya yang sedang
diresensi
7.2
Kajian
pustaka dan landasan teori
Sebagai
kajian pustaka untuk kajian ini sengaja hanya dicermati dua karya
linguirelevan, yakni :
1.
Kajian
lapoliwa (1988)
2.
Kajian
rahardi (2006)
Hal
perkajian pertama adalah bahwa imperative bahasa Indonesia dapat dibedakan
menjadi : Perintah, Suruhan, desakan, permintaan, saran, ajakan, tawaran,
persilan, harapan, kehendak, keinginan, laran kutukan, dan ucapan performatif.
Temuan
rahardi menginspirasi untuk segera menemukan makna-makna sosiopragmatik
imperative, sehingga dapat kajian pragmatic yang telah dilakukan sebelumnya.
7.3
Metodologi
Langkah
pertama yang harus dilakukan dalalm kajian ini adalah menyediakan data,
sehingga data itu benar-benar siap untuk dikenai metode dan teknik-teknik
analisis data. Data penelitian yang dimaksud pada dasarnya merupakan bahan jadi
penelitian, bukan bahan mentah penelitian. Namun sebelum melakukukan analisis,
data yang telah disediakan dengan sungguh baik kemudian dikelompokkan terlebih
dahulu. Klasifikasi data dilakukan untuk mendapatkan tipe-tipe data, yang
selanjutnya mempermudah proses analisis data pada tahapan berikutnya.
Untuk
penyediaan data digunakan 3 macam metode, yaitu : metode simak, metode cakap,
dan metode survey. Metode simak lazim disebut metode pngamatan atau observasi.
Metode cakap dapat pula disejajarkan dengan metode wawancara. Masing-maing
metode penyediaan data itu didalam penerapannya masih dijabarkan kedalam
tekni-teknik penyediaan data yang menjadi bawahannya.
7.4
Pembahasan
Setelah
menganalisis data, masuk pada tahap pembahasan. Pembahasan disini membahas
hasil jadi penelitian. Perlu di garis bawahi, bahwa membahas suatu penelitian
harus berdasarkan fakta, tidak boleh di karang sendiri, karena dari penelitian
itu butuh bukti fakta.
7.5 Simpulan
Sejalan
dengan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori,
dan pembahasan datanya, maka hal-hal berikut dapat dinyatakan sebagai simpulan.
Simpulan disini hanya mengambil garis besarnya saja.
8.
Resume Bab Tujuh: Ihwal teknis ejaan
8.1
Pedoman teknis ejaan
1.
Bentuk kebahasaan yang harus diikuti tanda
koma (,) dalam penulisannya.
Agaknya,
|
Paling tidak,
|
Akan tetapi,
|
Sebaliknya,
|
Akhirnya,
|
Sesudahnya,
|
Akibatnya,
|
Sementara itu,
|
Artinya,
|
Adapun,
|
Biarpun begitu,
|
Sungguhpun begitu,
|
Biarpun demikian,
|
Tambahan lagi,
|
Oleh sebab itu,
|
Sungguhpun
demikian,
|
Sebagai
kesimpulan,
|
Maka dari itu,
|
2. Bentuk yang didahului dengan tanda koma (,)
dalam penulisannya dan letaknya dalam kalimat.
…, padahal
|
…, sedangkan
|
…, seperti
|
…, misalnya
|
…, contohnya
|
…, antara lain
|
…, di antaranya
|
…, yaitu
|
…, yakni
|
…, ialah
|
…, adalah
|
…, pasalnya
|
3. Bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak
didahului tanda koma, khususnya apabila bentuk kebahasaan itu diikuti anak
kalimat.
…bahwa…
|
…maka…
|
…sehingga…
|
…sebab…
|
…jika…
|
…kalau…
|
…apabila…
|
4. Bentuk-bentuk kebahasaan yang didahului
tanda koma, khususnya apabila bentuk kebahasaan itu diikuti induk kalimat.
…, bahwa…
|
…, maka…
|
…, karena…
|
…, sehingga…
|
…, sebab…
|
…, jika…
|
…, kalau…
|
…, apabila…
|
…, bilamana…
|
5. Bentuk- bentuk kebahasaan yang harus hadir
berpasangan karena merupakan konjungsi korelatif.
Baik…maupun
|
Bukan…melainkan
|
Tidak…tetapi
|
Antara…dan
|
Tidak hanya…tetapi
juga
|
6. Bentuk-bentuk kebahasaan yang harus hadir
berpasangan karena merupakan idiom atau bentuk senyawa.
Sesuai dengan
|
Terkait dengan
|
Seirama dengan
|
Berkaitan dengan
|
Bertalian dengan
|
Dbandingkan dengan
|
7. Bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak boleh
hadir karena berkaitan dengan dimensi kedaerahan dan kellisahan.
Gimana
|
mangkanya
|
Gitu
|
Karenanya
|
Slama
|
Haturkan
|
Nggak
|
Menghaturkan
|
Peduli amat
|
Wilayah pemukiman
|
Ini kali
|
Penduluan
|
Ini hari
|
Pembaharuan
|
Ketawa
|
Nampak
|
8. Bentuk-bentuk kebahasaan yang salah karena
merupakan hasil dari analogi bentuk-bentuk kebahasaan yang salah.
Lelenisasi
|
Neonisasi
|
Listrikisasi
|
Konblokisasi
|
Selokanisasi
|
Teleponisasi
|
Sengonisasi
|
Jatinisasi
|
Turinisasi
|
Abatisasi
|
Kuningisasi
|
Semprotisasi
|
Hitamisasi
|
Wesenisasi
|
Lampunisasi
|
Pompanisasi
|
9. Bentuk- bentuk yang keliru karena merupakan
hasil dari analogi nomina dan verba yang tidak benar.
Koordinir
|
Mengorganisir
|
Mengkoordinir
|
Terorganisir
|
Dikoordinir
|
Dramatisir
|
Terkoordinir
|
Mendramatisir
|
Legalisir
|
Didramatisir
|
Dilegalisir
|
Realisirs
|
Proklamir
|
dipolitisir
|
10. Bentuk-bentuk kebahasaan yang salah karena
ketidakcermatan dalam penulisan.
Pungkir
|
kusus
|
Dipungkiri
|
Ihlas
|
Mempungkiri
|
Akhli
|
Jadual
|
Husus
|
Gladi
|
Apotik
|
Gladi resik
|
Apotiker
|
Panutan
|
Fikiran
|
Antri
|
Difikirkan
|
Mengantri
|
Faham
|
Prosen
|
Difahami
|
Diprosenkan
|
Kwitansi
|
Prosentase
|
dikwitansikan
|
11. Bentuk kebahasaan yang salah karena adanya
anggapan yang salah ihwal penulisan gabungan kata.
Beritahu
|
tanggungjawab
|
Lipatganda
|
Terimakasih
|
Kerjasama
|
Keretaapi
|
Garisbawah
|
Rumahsakit
|
Sebarluas
|
Suratkabar
|
Tandatangan
|
|
12. Bentuk jadian yang salah akibat adanya
anggapan gabungan kata yang salah.
Memberitahu
|
Sebarluaskan
|
Beritahukan
|
Bertandatangani
|
Berlipatganda
|
Tandatangani
|
Bekerjasama
|
tandatangankan
|
Digarisbawah
|
Berterimakasih
|
Tersebarluas
|
Terimakasihi
|
13. Bentuk kebahasaan yang salah akibat
pemahaman morfofonemik yang salah.
Memproduksi
|
Memerhatiakn
|
Memromosikan
|
Mempesona
|
Memproses
|
Mengkomunikasikan
|
Memraktikkan
|
Mengkoordinir
|
Memrakarsai
|
Memunyai
|
14. Bentuk kebahasaan yang salah karena adanya
kesalahkaprahan.
Berkesinambungan
|
Menyuci
|
Disini
|
Menyoblos
|
Disana
|
Maka itu
|
Diketemukan
|
Merubah
|
Sampai ketemu
kembali
|
Tersebut diatas
|
Seperti misalnya
|
Nampak
|
Seperti contohnya
|
Silahkan
|
15. Bentuk kebahasaan yang salah akibat
kegandaan konjungsi kalimat.
Jika…maka
|
Manakala…maka
|
Karena…maka
|
Meskipun…tetapi
|
Kalau…maka
|
Meskipun…namun
|
Sehingga…maka
|
Walaupun…tetapi
|
Bila..maka
|
Kendatipun…namun
|
16. Bentuk “di” ditulis serangkai apabila kata
yang mengikutinya adalah ‘verba’ atau ‘kata kerja’. Bentuk ‘di’ ditulis tidak
serangkai dengan kata yang mengikutinya apabila kata itu merupakan nomina atau
kata benda. Bentuk ‘di samping’ dan ‘disamping’ berbeda, karena yang satu
bermakna ‘di sebelah’, sedangkan yang satunya bermakna ‘selain’ atau ‘kecuali’.
Dipukul
|
Di meja
|
Ditendang
|
Di kursi
|
Dipikir
|
Di halaman
|
Dibangun
|
Di kelas
|
Dipasang
|
Di gedung
|
Dikawal
|
Di kolam
|
Dipakai
|
Di luar
|
17. Bentuk ‘ke’ harus ditulis dengan kata yang
mengikutinya apabila diikuti kata bilangan atau numeralia. Selain itu, ‘ke’
juga harus ditulis serangakai dengan ‘luar’ kalau merupakan kebalikan dari kata
‘masuk’. Adapaun ‘ke’ pada ‘ke luar’ ditulis tidak serangkai dengan bentuk itu
merupakan lawan dari bentuk ‘ke dalam’.
Kedua
|
Ketiga
|
Keempat
|
Keluar
|
Kekasih
|
Ketua
|
Kemari
|
18. Bentuk ‘pun’ harus ditulis serangkai dengan
kata yang mendahuluinya, apabila ‘pun’ tersebut sudah merupakan satu kesatuan
dengan bentuk kebahasaan yang mendahuluinya. Adapun ‘pun’ harus ditulis
terpisah dengan kata yang mendahuluinya, apabila ‘pun’ berfungsi ‘menyangatkan’
atau ‘mengeraskan makna’. Bentuk ‘sekalipun’ bermakna ‘sekali saja’ atau
‘meskipun sekali’ atau ‘walaupun sekali’. Penulisan ‘sekali pun’ dalalm makna
yang terakhir ini harus ditulis tidak serangkai.
19. Kata gabung yang salah satu bagiannya tidak
dapat berdiri sendiri sebagai kata harus dituliskan serangkai dengan bentuk
kebahasaan yang mengikutinya. Misal:
intrakurikuler, ekstrakurikuler, perikemanusiaan.
20. Kata gabung dasar yang bagian-bagiannya
tidak sangat erat hubungannya. Sehingga tidak dapat disatukan menjadi satu.
Misal: tanggung jawab, kerja sama, daya guna.
21.Bentuk
‘sebagai berikut’ dalam penggunaannya dapat diakhiri dengan tanda titik (.)
digunakan apabila yang menyertai adalah kalimat-kalimat, dan dapat pula
diakhiri dengan tanda titik dua (:) digunakan apabila perincian yang
menyertainya adalah kata, frasa, atau klausa.
- Ihwal
bentuk ‘adalah’, ‘ialah’, ‘yakni’, dan ‘yaitu’.
Bentuk-bentuk
kebahasaan itu dalam perincian yang bersifat mendatar atau horizontal, maupun
vertikal, tidak perlu diikuti dengan tanda titik dua (:).
Misal:
a.
Tiga
persoalan yang harus diatasi secepatnya,
yakni (a) sulit dijangkau, (b) sulit dicari, (c) sulit ditemukan.
b.
Tiga
persoalan mendasar yang harus diatasi secepatnya, yakni
a.
Sulit
dijangkau,
b.
Sulit
dicari, dan
c.
Sulit
ditemukan.
Bentuk ‘ialah’ digunakan untuk mendefinisikan sesuatu,
sedangkan bentuk ‘adalah’ digunakan untuk menegaskan hubungan subjek kalimat
dengan unsur penjelas yang mengikutinya.
23. Ihwal tanda hubung (-) dan tanda pisah (−)
Tanda
hubung (-) digunakan dalam bentuk ulang dan dituliskan diantara bentuk yang
diulang tersebut, sedangkan tanda pisah (−) digunakan untuk menyatakan maksud
‘hingga’ atau ‘sampai dengan’.
24. Ihwal bentuk ‘tiap-tiap’, ‘setiap’,
‘masing-masing’, ‘sesuatu’ dan ‘seseorang’. Diantara bentuk-bentuk kebahasaan
di atas itu, yang dapat diikuti oleh nomina adalah ‘tiap-tiap’ atau ‘setiap’.
25. Ihwal ‘sementara’, ‘sementara itu’, dan
‘adapun’.
Bentuk
‘sementara itu’ dan ‘adapun’ berkedudukan sebagai konjungsi antar kalimat
.konjungsi antar kalimat demikian itu harus ditulis dengan tanda koma yang
menyertainya. Bentuk ‘sedangkan’ adalah konjungsi intrakalimat, bukan antar
kalimat. Contoh-contoh berikut ini salah dan harus dihindari pemakaiannya.
a. Sementara kalangan akan segera datang
menyusul.
b. Adapun masalah-masalah kelembagaan cenderung
diabaikan.
c. Sementara para mahasiswa tidak diperkenankan masuk kampus.
Bentuk kebahasaan yang benar adalah
sebagai berikut:
a. Beberapa kalangan akan segera datang
menyusul.
b. Adapun masalah-masalah kelembagaan cenderung
diabaikan.
c. Sementara itu, para mahasiswa tidak
diperkenankan masuk kampus.
26. Ihwal ‘seperti’, ‘misalnya’, ‘contohnya’,
‘antara lain’
Bentuk-bentuk
kebahasaan ini dianggap sebagai konjungsi yang tugasnya adalah memerinci
sekaligus pembatas. Contoh: Lambatnya
mengatasi masalah itu dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya terbatasnya
keuangan, kurangnya sumber daya manusia.
1. Simpulan
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa buku ini terdiri dari tujuh bab.
a. Bab 1 jati diri bangsa yang di dalamnya
membahas tentang arti bahasa, fungsi
bahasa, dan ragam bahasa, dengan ini diharapkan pembaca agar mengetahui apa
arti bahasa yang sebenarnya.
b. Bab 2 ihwal diksi yang di dalamnya membahas
peranti-peranti diksi, ihwal peristilahan,
aneka kasus diksi.
c. Bab 3 ihwal kalimat berisi tentang kelas
kata, frasa, klausa, dan kalimat, dengan mempelajari bab ini pembaca akan
diperkenalkan bagaimana cara membuat kalimat yang efektif.
d. Bab 4 ihwal paragraf di dalamnya membahas
pengertian paragraf itu sendiri, ide utama dan kalimat utama, kalimat penjelas,
kalimat penegas, unsur-unsur pengait paragraf, prinsip kepaduan bentuk dan
makna paragraf, jenis dan cara pengembangan paragraf.
e. Bab 5 ihwal karya ilmiah akademik di
dalamnya membahas karangan ilmiah, asas-asas karangan ilmiah, tema karangan,
judul karangan, kalimat tesis, kerangka karangan, model-model berpikir, ihwal
latar belakang masalah dan rumusan masalah, ihwal tujuan penulisan, ihwal
hipotesis, ihwal abstrak, cara kerja penyusunan karangan ilmiah, empat langkah
penyediaan data, aspek-aspek dalam analisis data, berpikir linear dalam
karangan ilmiah.
f. Bab
6 ihwal resensi di dalamnya membahas pengertian, pertimbangan dalam meresensi,
prinsip resensi, unsur-unsur resensi.
g. Bab 7 ihwal teknis ejaan, dalam bab ini
dibahas tentang teknis-teknis ejaan yang benar dan sesuai dengan ejaan yang
telah disempurnakan.
Daftar
Pustaka
Rahardi, R. kunjana, Dr.
2009, Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar