Selasa, 22 September 2015

RESUME BAHASA INDONESIA UNTUK PERGURUAN TINGGI KARYA Dr. R. KUNJANA RAHARDI, M. Hum.

RESUME BAHASA INDONESIA UNTUK PERGURUAN TINGGI
KARYA Dr. R. KUNJANA RAHARDI, M. Hum.
Tugas
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Bahasa Indonesia

Dosen Pengampu:
Miftakhul Huda, M.Pd








Oleh:
Muhammad Fachri Dzulfikar
NIM: 2014.01.01.272


PROGAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
SARANG REMBANG
2014

RESUME “BAHASA INDONESIA UNTUK PERGURUAN TINGGI”
KARYA Dr. R. KUNJANA RAHARDI, M. Hum.

1. Pengantar
Buku dengan judul “Bahasa indonesia untuk perguruan tinggi” karya Dr. R. KUNJANA RAHARDI, M. Hum. sangatlah penting untuk dipelajari, khususnya bagi mahasiswa untuk mempermudah memahami bahasa indonesia secara baik dan benar sesuai dengan kaidah ejaan yang telah disempurnakan.  Beliau adalah dosen luar biasa di Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Buku ini dicetak oleh Penerbit Erlangga pada tahun 2009.
Buku ini disusun dalam 7 bab, yang masing-masing diperinci menjadi sub-subbab yang lebih terperinci. Di awal setiap bab disajikan rumusan kompetensi dasar dan rumusan standar kompetensi untuk para mahasiswa mempelajari isi setiap isi bab.
Paper ini merupakan tugas dari mata kuliah Bahasa Indonesia. Penulis meresume setiap bab buku ini. Pemahaman buku ini masih perlu banyak penjelasan karena keterbatasan penulis terhadap beberapa  istilah yang perlu dipahami secara tepat.
2. Resume Bab Satu:  jati diri bahasa
2.1 Arti Bahasa
          Bahasa,masyarakat, dan budaya adalah tiga etnis yang erat berpadu. Sosok bahasa sering disebut penanda (prevoir) eksistensi budaya dari masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang maju budayanya pasti juga berkembang baik entitas bahasanya. Bahasa yang baik juga dapat menunjukkan keberadaan masyarakat. Maka, bahasa sering pula disebut cermin masyarakatnya.
          Entitas bahasa bersifat unik, khas, dan tidak dimiliki bahasa-bahasa lainnya. Anderson (1972) menyebutkan delapan prinsip dasar yang merupakan hakekat bahasa, yaitu :
a)    Merupakan alat komunikasi
b)   Bersifat kesemestaan
c)    Bersifat kemanusiaan
d)    Berkaitan dengan masyarakat dan budaya
e)    Memiliki makna konvensional
f)     Bersifat vocal
g)    Merupakan symbol arbitrer
h)    Merupakan system
2.2 Fungsi bahasa
          Bahasa memiliki fungsi beragam, yaitu :
Ø  Fungsi instrumental adalah bahasa dapat digunakan untuk melayani lingkungannya.
Ø  Fungsi regulasi adalah bahasa digunakan untuk mengatur serta mengendalikan orang-orang sebagai warga masyarakat
Ø  Fungsi representasional adalah menggambar atau mempresentasikan sesuatu.
Ø  Fungsi interaksional adalah bahwa bahasa dapat digunakan untuk menjamin terjadinya interaksi, memantapkan komunikasi, dan mengukuhkan komunikasi dan interaksi antar warga masyarakat itu sendiri.
Ø  Fungsi personal adalah bahasa dapat digunakan untuk mengekspresikan maksud-maksud pribadi atau personal
Ø  Fungfi heuristic adalah bahasa digunakan untuk mempelajari pengetahuan, mencari ilmu, mengembangkan tekhnologi, dan menyampaikan rumusan-rumusan yang bersifat pertanyaan.
Ø  Fungsi imajinatif adalah fungsi bahasa yang berkenaan dengan penciptaan imajinasi.
Dari beberapa fungsi diatas, yang paling utama adalah fungsi interaksional, karena bahasa menjadi piranti utama dalam berkomunikasi dan interaksi antar sesama.

2.3  Ragam bahasa
          Bahasa Indonesia memiliki ragam bahasa yang tidak sedikit jumlahnya.
1.   Ragam bahasa berdasarkan waktunya
Dalam konteks waktu, bahasa dapat diperinci menjadi :
1.    Bahasa ragam lama atau kuno
2.    Bahasa ragam baru atau modern
3.    Bahasa ragam kontemporer, yakni ragam bahasa yang banyak mencuat akhir-akhir ini.
Dengan bahasa laras lama atau bahasa ragam kuno dapat dilacak keberadaan atau eksistensi berikut makna sejumlah dokumen kuno, aneka prasasti, dan tulisan-tulisan yang tertuang dalam piranti yang masih sangat sederhana itu.
Selanjutnya, setelah ragam bahasa kuno adalah bahasa dalam ragam baru. Dengan ragam baru bahasa itu dimungkinkan terjadi pula inovasi-inovasi kebahasaan yang baru. Dengan bahasa ragam baru pula perkembangan masa depannya akan dapat diprediksikan.
Dalam banyak literatur memang sama sekali tidak ditemukan ragam bahasa kontemporer. Adapun yang dimaksud adalah entitas bahsa dalam wujud perkembangannya yang sekarang ini, yang telah melahirkan bentuk-bentuk kebahasaan baru yang cenderung mengabaikan kaidah-kaidah kebahasaan yang sudah ada itu.
Selain ditandai penyimpangan-penyimpangan aturan kebahasaan, bahasa kontemporer juga cenderung tidak peduli dengan pembedaan fungsi bahasa dalam kaitan dengan kedudukan sebagaimana telah disampaikan  dibagian depan.

2.       Ragam bahasa berdasarkan medianya
          Jika dilihat dari dimensi medianya, bahasa dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
a)    Bahasa ragam lisan
b)   Bahasan ragam tulis
          Bahasa ragam lisan lazimnya ditndai dan ditentukan oleh penggunaan aksen-aksen bicara atau penekanan –penekanan tertentu dalam aktifitas bertutur, pemakaian intonasi atau lagu kalimat tertentu.
          Bahasa ragam lisan selanjutnya dapat diperici menjadi dua, yakni (a) bahasa ragam lisan baku dan (b) bahasa ragam lisan tidak baku. Bahasa ragam lisan baku kelihatan seperti orang sedang ceramah, presentasi, dan lain-lain. Bahasa ragam lisan tidak baku juga kelihatan seperti ngobrol dengan santai.
          Selanjutnya yang dimaksud dengan bahasa ragam tulis bahasa yang hanya tepat muncul dalam konteks tertulis.

3.       Ragam bahasa berdasarkan pesan komunikasinya
          Apabila didasarkan pada kandungan pesan komunikasinya, bahasa dapat dibedakan menjadi :
a)    Bahasa ragam ilmiah
b)   Bahasa ragam sastra
c)    Bahasa ragam pidato
d)    Bahasa ragam berita 
Ragam ilmiah biasanya digunakan dalam dua manifestasi, yakni dalam karya ilmiah akademis dan dalam karya ilmiah popular. Karya ilmiah akademis di perguruan tinggi biasanya akaln meliputi artikel ilmiah, makalah ilmiyah, jurnal ilmiah, surat-menyurat, dan lain-lain. Adapun karya ilmiah populer bias meliputi esai-esai ilmiah populer,  catatan-catatan ilmiah populer, opini-opini di media massa, dan lain-lain.

3. Resume Bab Dua:  Ihwal diksi
3.1 Peranti-peranti diksi
1.    Peranti kata berdenotasi dan berkonotasi
v  Kata berdenotasi
          Dalam studi linguistic ditegaskan bahwa kata yangtidak mengandung makna tambahan atau perasaan tambahan makna tertentu disebut denotasi. Jadi makna denotasi dapat disebut makna yang sebenarnya, seperti peranti duduk yang namanya “kursi”, maka peranti , untuk duduk itu disebut sebagai “kursi”. Kata “kursi” dalam hal ini memiliki makna apa adanya.

v  Kata berkonotasi
      Kata berkonotasi ialah makna kias, bukan makna sebenarnya. Makna konotasi memiliki nuansa makna subjektif dan cendeerung digunakan dalam situasi tidak formal, seperti “dengan memanjatkat puji syukur kepada…..”, pemakaian kata “memanjatkan” dalam kalimat tersebut jelas sekali menggunakan makna konotasi bukan denotasi.

2.    Peranti kata bersinonim dan berantonim
     Kata “bersinonim” berarti kata sejenis, sepadan, sejajar, serumpun, dan memiliki arti sama. Secara lebih gampang dapat dikatakan bahwa sinonim sesungguhnya ada persamaan makna kata. Adapun yang dimaksud adalah dua kata atau lebih yang berbeda bentuknya, ejaannya, pengucapan atau lafaldnya, tetapi memiliki makna sama atau hampir sama, contoh: hamil dan mengandung, kedua bentuk tersebut dapat dikatakan bersinonim karena bentuknya berbeda tetapi maknanya sama.
     Kata “berantonim” berlawanan dengan kata “bersinonim”. Bentuk kebahasaan tertentu akan dapat dikatakan berantonim jika bentuk itu memiliki makna yang tidak sama atau berlawanan. Seperti contoh kata “panas dan dingin”, kedua kata tersebut mempunyai makna yang berlawanan.
3.    Peranti kata bernilai Rasa
     Diksi atau pilihan kata juga mengajarkan untuk senantiasa menggunakan kata-kata yang bernilai rasa dengan cermat, guna untuk mengindahkan kata-kata. Bahasa juga perlu dalam pemakaiannya lebih di perhatikan dan di pertimbangkan, agar dapat menyangkut dengan konteksnya.
4.    Peranti kata konkret dan abstrak
     Kata-kata konkret adalah kata-kata yang menunjukkan pada objek yang dapat dipilih, didengar, dirasakan, diraba, atau dicium. Kata-kata konkret lebih mudah dipahami daripada kata-kata abstrak
     Kata-kata abstrak menunjuk pada konsep atau gagasan. Kata-kata abstrak sering dipakai untuk mengungkapkan gagasan yang cenderung rumit. Kata abstrak digunakan untuk membuat deskripsi,beberapa juga untuk narasi.
5.    Peranti keumuman dan kekhususan kata
     Kata umum adalah kata yang perlu dijabarkan lebih lanjut dengan kata yang sifatnya khusus untuk mendapatkan perincian lebih baik. Kata umum lebih tepat digunakan untuk argumentasi atau persuasi, karena dalam pemakaian yang disebutkan terakhin itu akan dibuka kemungkinan-kemungkinan penafsiran yang lebih luas, yang lebih umum, yang lebih komprehensif sebagai imbangan kata-kata umum adalah kata-kata khusus.
     Dalam banyak hal, kata-kata khusus memang merupakan kebalikan kata-kata umum. Kata-kata khusus cenderung digunakan dalam konteks terbatas, maka lazim pula dipahami bahwa kata-kata khusus adalah kata-kata yang sempit ruang lingkupnya, terbatas konteks pemakaiannya.
6.    Peranti kelugasan kata
     Diksi juga mengajarkan kita ihwal kata-kata lugas, apa adanya.  Kata-kata lugas adalah kata-kata yang sekaligus juga ringkas , tidak merupakan frasa panjang, tidak mendayu-dayu, dan sama sekali tidak berbelit-belit. Ketika konteks pemakaian kebahasaan itu adalah untuk menyatakan kebasi-basian dan kesantunan, sudah barang tentu pemakaian bentuk-bentuk kebahasaan yang lugas itu tidak tepat.
7.    Peranti penyempitan dan perluasan makna kata
     Sebuah kata dapat dikatakan mengalami penyempitan makna apabila didalam kurun waktu tertentu maknanya bergeser dari semula yang luas ke makna yang sempit atau sangat terbatas.
     Sebagai imbangan dari penyempitan makna kata adalah perluasan makna kata. Sebuah makna kebebasan dikatakan akan meluas jika dalam kurun waktu ternentu maknanya akan bergeser dari yang semula sempit ke makna yang lebih luas.
8.    Peranti keaktifan dan kepasifan kata
     Dalam kerangka diksi atau pemilihan kata yang dimaksud dengan kata-kata aktif adalah kata-kata yanga banyak digunakan oleh tokoh masyarakat.
     Pemakaian bahasa kontemporer yang terjadi sekarang ini banyak menjadi bukti sekaligus saksi akan banyak dilahirkannya kata-kata yang baru, kata-kata yang semula tidak pernah digunakan itu.
     Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kata-kata yang semula tidak pernah digunakan akan menjadi aktif jika digunakan.
9.    Peranti ameliorasi dan peyorasi
     Ameliorasi adalah proses perubahan makna dari yang lama ke yang baru ketika bentuk yang baru dianggap dan dirasakan lebih tinggi dan lebih tepat nilai rasa serta konotasinya dibandingkan dengan yang lama.
     Sebagai imbangan dari ameliorasi adalah peyorasi. Maksudnya adalah perubahan makna dari yang baru ke yang lama ketika yang lama dianggap masih tetap lebih tinggi dan lebih tetap nilai rasa serta konotasinya dibandingkan dengan makna yang baru.
10. Peranti kesenyawaan kata
     Bentuk idiomatis  atau bentuk bersenyawa, sesuai dengan namanya, tidak dapat dipisahkan begitu saja oleh siapapun. Dikatakan sebagai bentuk senyawa karena bentuk demikian itu sudah sangat erat hubungan antara satu dengan dengan yang lainnya. Jadi didalam konstruksi idiomatis kata yang satu dengan kata yang lainnya itu berhubungan erat, lekat, dan tidak dapat dipisahkan oleh alasan apapun juga.
11. Peranti kebakuan dan ketidakbakuan kata
     Bentuk baku hadir karena adanya pembakuan bentuk-bentuk kebahasaan. Pembakuan bahasa demikian itu pada gilirannya akan menjadikan bangsa Indonesia semakin bermartabat.
     Bilamana bahasa baku tersebut digunakan oleh masyarakat internasional, maka jadilah bahasa itu bahasa yang berharkat dan bermartabat tinggi.
3.2 Ihwal peristilahan
          Istilah dapat didefinisikan sebagai kata atau gabungan kata yang dapat dengan cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dibidang kehidupan dan cabang ilmu pengetahuan tertentu. Istilah itu sendiri dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu istilah yang sifatnya khusus dan istilah yang sifatnya umum.
          Bentuk-bentuk kebebasan yang hanya lazim digunakan dalam bidang tertentu dapat dikatakan sebagai bentuk-bentuk yang sifatnya khusus. Sebagail imbangan dari kata-kata yang sifatnya khusus adalah kata-kata yang sifatnya umum yaitu kata-kata yang memiliki kandungan makna yang banyak dan bermacam-macam .

4. Resume Bab Tiga : Ihwal Kalimat
4.1   Kelas kata
                   Kata dalam bahasa Indonesia yang jumlahnya luar biasa banyak itu mustahil dapat dipelajari dengan mudah kalau tidak di kelas-kelaskan terlebih  dahulu. Nah, hasil dari pengelaskataan atau pengelompokan kata-kata itulah yang kemudian lazim disebut dengan kelas kata.
1.    Verba
                             Verba atau kata kerja lazimnya dapat didefinisikan dengan menggunakan tiga macam cara.
a)    Dengan mencermati bentuk morfologisnya
b)   Dengan mencermati perilaku sintaksisnya
c)    Dengan mencermati perilaku semantisnya
Berdasarkan ciri morfologisnya, verba didalam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi :
a)    Verba dasar atau verba yang tidak berafiks
b)   Verba berafiks
c)    Verba yang merupakan perulangan atau reduplikasi
d)    Verba yang merupakan bentuk majemuk
Berdasarkan fungsinya atau sering disebut sebagai perilaku sintaksisnya, verba dapat dibedakan menjadi :
a)    Verba yang menduduki fungsi subjek
b)   Verba yang menduduki posisi keterangan
c)    Verba yang menduduki posisi objek
Dari sisi pembentukannya, verba juga dapat dibentuk dari nomina. Verba atau kata kerja yang demikian ini disebut sebagai verba denominal, misalnya “berbudaya dan mencangkul” yang dibentuk dari dasar nomina “budaya dan cangkul”. Selain itu ada juga verba adjektifa, contoh mengakhiri dan mengawali.
2.    Adjektiva
                   Adjektiva lazim disebut juga kata sifat. Dari dimensi wujud atau bentuknya dapat dikenali adjektifa dasar, seperti cantik, adil.
                   Adjektiva dari dimensi bentuknya merupakan gabungan atau perpaduan dua adjektiva, misalnya cantik jelita dan aman sentausa.
     Adjektifa dapat didampingi dengan kata-kata berikut, sangat, agak, lebih, paling.
3.    Nomina
                   Nomina disebut juga kata benda. Dari dimensi bentuknya, nomina dapat dibedakan menjadi dua, yakni nomina dasar dan nomina bentukan atau turunan. Nomina dasar ialah nomina yang belum mendapatkan imbuhan apapun, contoh : buku, meja, rumah. Nomina turunan ialah nomina yang sudah mendapatkan imbuhan.
4.    Pronominal
          Pronominal disebut juga sebagai kata ganti. Dikatakan sebagai kata ganti karena sesungguhnya pronomina itu berfungsi menggantikan nomina yang menjadi antesedennya.
                   Dari sisi bentuknya, nomina dapat dibedakan menjadi :
a)    Nomina persona
b)   Nomina penunjuk
c)    Nomina penanya
Nomina persona dapat menunjukkan orang, baik dalam hitungan tunggal maupun banyak. Tunggal : saya, aku, daku, dan –ku. Jamak : kami, kamu, kalian, mereka.
Selain menunjukkan pada persona, pronominal juga dapat nomina penunjuk, seperti : itu, ini, sana, sini. Pronominal dapat juga berfungsi sebagai pronominal penanya, misalnya : mengapa, lenapa, bagaimana.
5.    Numeralia
                   Numeralia sering disebut juga kata bilangan. Kata itu digunakan untuk menghitung jumlah orang, binatang, barang, dan juga sebuah konsep.
                   Dalam bahasa Indonesia dibedakan dua macam numeralia, yaitu numeralia pokok dan numeralia tingkat. Numeralia pokok digunakan untuk menjawab pertanyaan “berapa”, sedangkan numeralia tingkat digunakan untuk menjawab pertanyaan “kebrapa”.
6.    Adverbial
                   Adverbia sering disebut juga kata keterangan. Dapat dikatakan keterangan karena kata-kata itu memberikan keterangan pada verba, adjektiva, nomina predikatif, atau pada kata kalimat secara keseluruhan.
                   Dari dimensi bentuknya, terdapat dua macam adverbia dlam bahasa Indonesia, yakni :
·         Adverbia monomorfemis
·         Adverbia polimorfemis
                   Dikatakan sebagai adverbia monomorfemis karena adverbial itu hanya terdiri dari satu bentuk, seperti sangat, hanya, segera, agak, akan. Dapat dikatakan adverbia polimorfemis karena bentuknya lebih dari satu morfem, misalnya belum tentu, jangan-jangan, lebih-lebih, mula-mula.
                   Dari sisi perilaku sintaksisnya, adverbial dapat merupakan kata yang mendahului kata yang diterngkan, seperti pada “puisi itu sangat indah”, kata sangat adalah adverbia dan tugasnya adalah menjelaskan “indah” yang berada dibelakangnya.
4.2   Frasa
Frasa atau kelompok kata adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata dan hubungan kata itu bersifat nonprediktif. Yang perlu digaris bawahi dalam pembahasan frasa ialah  hubungan antar kata dan kata yang lain di dalam kata tersebut.
Secara umum, frasa atau kelompok kata itu dapat dibedakan menjadi dua, yakni frasa eksosentris dan frasa endosentris. Frasa eksosentris  tidak memiliki perilaku sintaksis yang sama dengan semua komponennya, contoh : dengan sabar, dengan baik, dari rumah, pada hari. Frasa endosentris ialah frasa yang seluruh bagiannya memiliki perilaku sintaksis yang sama dengan perilaku  salah satu komponen tersebut. Frasa endosentris dapat dibedakan menjadi dua, yakni frasa endosentris tunggal dan frasa endosentris jamak. Contoh frasa endosentris tunggal ialah fendi anak bapak kunjana yang masaih kecil itu senang membuat puisi. Contoh frasa endosentris jamak ialah saya tetap mencintainya, baik kaya maupun miskin.
Frasa endosentris tunggal dapat dibedakan menjadi menjadi frasa berikut ini, yaitu :
1.    Frasa nominal
          Frasa yang terdiri dari nomina sebagai induk atau sebagai pusat dan unsure lain yang yang berupa adjektifa, verba, numeralia, dan lain-lain. Contoh : kursi rotan, kawan seperjuangan, sosok yang terpandang, wanita cantik jelita.
2.    Frasa verba
           Frasa verba merupakan gabungan antara verba dengan verba, verba dengan adverbia atau yang lainnya. Contoh :pergi ke jakarta, berangkat tidur, tidur dengan nyenyak.
3.    Frasa adjektiva
           Frasa adjektiva ialah frasa yang merupakan gabungan antara adjektifa dengan komponen yang lainnya, sedangkan frasa yang lainnya berfungsi sebagai penjelas. Contoh : panas terik, agak sulit, cantik sekali, cerdik cendekia.
4.    Frasa numeralia
           Frasa numeralia ialah frasa yang merupakan gabungan antara numeralia dengan unsur-unsur lainnya. Di dalam konstruksi frasa itu, numeralialah yang menjadi induk atau frasanya. Contoh : dua puluh, dua ekor, dua lusin.
5.    Frasa preposisional
           Frasa preposisional ialah frasa yang induknya adalah preposisi. Contoh : dari, oleh, dan untuk.
4.3   Klausa
1.    Pengertian klausa
              Klausa adalah suatu kebahasaan yang merupakan gabungan kelompok kata yang setidaknya terdiri dari atas subjek dan predikat. Klausa bersifat predikatif dan berpotensi untuk dijadikan kalimat.
2.    Klausa pada kalimat majemuk setara
Klausa-klausa didalam kalimat majemuk setara masing-masing dapat berdiri sendiri sebagai kalimat.
Hubungan antar kalimat di dalam kalimat majemuk setara dapat dibedakan menjadi tiga, yakni :
·         hubungan koordinatif yang sifatnya aditif
·         hubungan koordinatif yang sifatnya adversative
·         hubungan koordinatif yang sifatnya alternative
              Jenis yang pertama bersifat menambahkan, bersifat menjumlahkan, dan lazimnya menggunakan konjungsi dan, serta, bersama. Jenis yang kedua ialah adversatif, arinya bertentangan. Konjungsi yang lazim digunakan ialah tetapi, melainkan, dan sedangkan. Jenis yang ketiga ialah bersifat alternative atau pilihan, maksudnya ialah bahwa kalausa yang dihubungkan itu merupakan pilihan bagi klausa yang disampaikan sebelumnya. Konjungsi yang lazim digunakan ialah atau atau ataukah seperti pada kalimat berikut, “Aku harus tetap berbohong untuk menyimpan rahasia, ataukah harus berterus terang saja?”
3.    Klausa pada kalimat majemuk bertingkat
             Hubungan antar antar klausa pada kalimat majemuk bertingkat bersifat subordinatif , maksunya klausa yang satu berinduk atau menjadi sub bagi klausa yang lainnya. Klausa yang satu menjadi atasan, dan klausa yang lainnya menjadi bawahan, atau klausa yang satu menjadi induk, sedangkan klausa yang lainnya menjadi anaknya. Hubungan klausa demikianlah yang disebut dengan hubungan yang bersifat hierarkis atau subordinatif.
             Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian kalimat majemuk bertingkat yang diawali oleh konjungsi subordinatif itu pasti adalah anak kalimatnya, bukan induk kalimatnya. Konjungsi itu memiliki hubungan makna yang bermacam-macam. Ada konjungsi yang menyatakan sebab, seperti karena, sebab, lantaran,. Bentuk olehk karea, karenanya, karena itu, oleh karena itu, jangan pernah dianggap sebagai konjungsi subordinatif dalam bahasa Indonesia.
4.4 Kalimat
1.    Pengertian kalimat
            Kalimat dapat dipahami sebagai satuan bahasa terkecil yang dapat digunakan untuk menyampaikan ide atau gagasan. Pakar berbeda menyatakan bahwa kalimat adalah satuan bahasa yang secara relative berdiri sendiri, mempunyai intonasi akhir, dan secara actual dan potensial terdiri atas klausa.
            Jadi, tidak salah pula kalau di katakan bahwa sesungguhnya sebuah kalimat membicarakan hubungan antara klausa yang satu dan yang lainnya.
2.    Unsur-unsur kalimat
A.    Subjek
  Unsur pembentuk kalimat yang harus disebut pertama disini adalah subjek. Dalam kalimat, subjek tidak selalu berada di depan. Ada kalanya berada di belakang predikat, teruama kalimat yang berdiatesis pasif.
  Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui kebera subjek kalimat.
  Cara yang pertama adalah dengan menggunakan pertanyaan, siapa + yang + predikat apabila subjek itu adalah subjek orang, atau apa + yang + predikat bilamana yang menjadi subjek itu bukan orang. Contoh : Tuti sudah dikawinkan dengan pria pilihan ayahnya. Jika formulasi demikian diterapkan, maka maka pertanyaannya akan berbunyi “siapa yang sudah dikawinkan dengan pria pilihan ayahnya? “. Jawabannya adalah “Tuti”. Maka, subjek kaliamat itu adalah “Tuti”.
B.    Predikat
  Sama-sama menjadi unsure dalam sebuah kalimat, predikat memiliki karakter yang tidak sama dengan subjek. Akan tetapi, kejatian sebuah subjek menjadi jelas juga karena ada subjek kalimatnya.
  Cara yang paling mudah untuk mengidentifikasi predikat kalimat adalah dengan menggunakan formula pertanyaan “bagaimana atau mengapa”. Bilamana dicermati dari dimensi maknanya, bagian kalimat yang memberikan informasi ihwal pertanyaan “bagaimana dan mengapa” adalah predikat itu. Contoh : dia bukan mahasiswa kampus itu lagi sejak 2008. Jadi jelas, bagian kalimat yang mengikuti penegasi “tidak” dan “bukan” inilah predikat kalimatnya.
C.    Objek
  Dalam banyak hal dapat dikatakan bahwa objek kalimat berlawanan dengan subjek kalimat. Objek kalimat hanya dimungkinkan hadir apabila predikat kalimat tersebut merupakan verba atau kata kerja yang sifatnya transitif.
  Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa objek kalimat itu tidak akan hadir di dalam kalimat apabila :
1.    Tidak terdapat dalam kalimat pasif
2.    Kalimat itu merupakan kalimat dengan
verba instransitif.
        Contoh :
·         Fendi dilahirkan di yogjakarta
·         Bukunya bernilai sangat tinggi
                      D.   Pelengkap
                Dalam kalimat pasif, pelengkap tidak dapat menempati fungsi subjek. Pada posisi yang sama, objek dapat menempatinya. Maka inilah sesungguhnya perbedaan mendasar antara objek dan pelengkap.
  Contoh :        ~ Ibu member saya baju baru
                     ~ Fendi berjualan buku cerita.
E.    Keterangan
                       Keterangan adalah unsure kalimat yang sifatnya tidak wajib hadir. Berbeda dengan subjek, predikat, objek, dan pelengkap yang sifatnya wajib hadir. Adapun fungsinya adalah untuk menambahkan informasi pada kalimat itu.
3.       Sruktur kalimat
a.    Struktur kalimat dasar
Kalimat dasar,atau kalimat tunggal, atau kalimat sederhana ialah kalimat yang hanya memiliki satu subjek dan satu predikat. Kalimat dasar dapat berwujud tiga macam, yaitu kalimat tunggal murni, seperti pada bentuk, “Adik tidur”. Kailmat dasar dapat juga berupa kalimat yang diperluas dengan keterangan tertentu, misalnya adik menangis di belakan kebun. Sekalipun bentuk bahasanya panjang, karena kalimat tersebut hanya terdiri dari satu subjek dan predikat.
b.    Stuktur kalimat majemuk
Kalimat majemuk jenis yang pertama adalah kalmiat majemuk setara. Konstruksi kalimat majemuk setara sesungguhnya sangat sederhana, yakni hanya beberapa kalimat dasar atau kalimat tunggal yang kemudian digabungkan dengan konjungsi atau kata penghubung.
Adapun konjungsinya ialah dan, atau, sedangkan, tetapi, dan melainkan. Contoh: adik sedang tidur, sedangkan ibu sedang memasak di dapur.
4.    Kalimat efektif
a.    Definisi kalimat efektif
Kalimat efktif  adalah kalimat yang tidak cukup dipahami hanya sebagai satuan kebhasaan terkecil yang dapat digunakan untuk mengungkapkan ide atau gagasan yang utuh.
Demikian pula dalam konteks tuturan lisan, sebuah tuturan yang efektif itu harus dapat membangkitkan kembali gagasan yang dimiliki oleh pendengar.
b.    Prinsip-prinip efektifitas kalimat
Prinsip utama yaitu bahwa kalimat itu harus disusun dengan mempertimbangkan dan memperhitungkan kesepadanan bentuk atau kesepadanan setrukturnya. Contoh : adik kecil yang menangis.
                
                
5. Resume Bab Empat:  Ihwal Paragraf
5.1 Pengertian paragraph
Paragraf ialah segala sesuatu yang lazim terdapat didalam karangan atau tulisan, sesuai dengan prinsip dan tata kerja karang-mengarang dan tulis-menulis terdapat pula dalam paragraf.
5.2 Ide utama dan kalimat utama dalam paragraph
Perlu digaris bawahi, sebuah paragraph muthlak harus memiliki ide pokok, ide pokok itulah pengendali dari bangunan paragraf itu.
Jadi, kalimat utama atau kalimat pokok paragraph itu harus berisi ide utama dari paragraph yang bersangkutan. Ambil saja contoh, ide pokok paragraf yang berbunyi ”lambatnya penelitian”, maka ide pokok paragraph itu dapat dikemas menjadi sebuah kalimat utama yang berbunyi  “ lalmbatnya penelitian di Indonesia disebabkan oleh rendahnya insentif bagi para peneliti.
1.    Kalimat utama diawal paragraph
Kalimat utama diawal  paragraf yaitu perincian dan jabaran bagi kalimat utama tersebut akan menyertainya pada kalimat yang berikutnya. Alur pikiran yang diterapkan dalam paragraph dengan kalimat utama yang berada diawal paragraph yang demikian ini adalah alur piker deduktif.
2.    Kalimat utama di akhir paragraph
Kalimat pokok yang tempatnya di akhir paragraph terlebih dahulu di awali dengan kalimat-kalimat penjelas. Nah, pada akhir paragraph, semua yang telah disajikan di dalam bagian awal hingga pertengahan paragraph itu kemudian disimpulkan di akhir paragraph.
3.   Kalimaat utama di dalam paragraph
Paragraph jenis demikian ini, ada yang menyutnya sebagai paragraph ineratif. Jadi, didalam paragraph tersebut kalimat utama yang terdapat di tengah paragraph ini diibaratkan sebagai puncak. Kalimat-kalimat yang berada diawal paragraph itu dapat dikatakan sebagai awal-awal menuju puncak, menuju klimaks paragraph, sedangkan kalimat-kalimat yang berada setelah kalimat-kalimat itu, sekalipun merupakan kalimat penjelas, derajatnya semakin lemah.
4.    Kalimat utama di awal dan di akhir paragraph
      Paragraph yang kalimat utamanya di awal dan di akhir paragraph demikian ini disebut sebagai paragraph yang beralur pikir abduktif.
a.    Kalimat penjelas
Dapat dikatakan sebagai kalimat penjelas karena tugas dari kalimat itu me      mang menjelaskan dan menjadi lebih lanjut ide pokok dan kalimat utama yang terdapat dalam paragraph tersebut. Jadi kalimat penjelas yang baik sesungguhnya akan menjadi penentu pokok dari benar-benar baik dan tuntasnya paragraph tersebut.
1.    Kalimat penjelas mayor
Kalimat penjelas mayor adalah kalimat penjelas yang utama. Kalimat penjelas yang utama itu bertugas menjelaskan secara langsung ide pokok dan kalimat utama yang terdapat didalam paragraph itu.
2.    Kalimat penjelas minor
Dikatakan sebagai kalimat penjelas minor karena kalimat penjelas itu tidak secara langsung menjelaskan ise pokok dan kalimat utama paragraph. Jadi seuah kalimat penjelas minor yang telah menjelaskan secara lansung kalimat penjelas utama tertentu tidak serta merta dapat digunakan untuk menjelaskan kalimat penjelas utama yang lain.
5.    Kalimat penegas
Dalam konteks pemakaian paragraph, kehadiran sebuah kalimat penegas didalam paragraph, menjadi sangat lebih dipentingkan oleh penulis. Satu hal yang juga yang juga harus dicatat oleh para penyusun paragraph, dan para penulis pada umumnya kalimat penegas demikian itu bukanlah ide pokok dan kalimat pokok baru.

6. Resume Bab lima: Ihwal karya ilmiyah akademik
6.1 Ihwal karangan ilmiah
Menulis bagi banyak orang memang sangat tidak mudah. Bagi sementara orang yang lain lagi justru terjadi sebalinya, menulis adalah sesuatu yang mudah dan sangat menyenangkan. Berkaitan dengan hal ini, sesungguhnya ihwal kebiasaan membaca memiliki peran dan pengaruh yang sangat besar dalam menjadikan orang merasakan mudah ataukah sulit di dalam aktifitas menulis itu.
6.2         Lebih mengenali karangan ilmiah
Bias dikatakan sebagai hal yang ilmiah karena sesungguhnya dimensi-dimensi keilmuan menjadi kandungan pokoknya dalam tulisan. Secara khusus dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan ilmiah itu berkaitan sangat erat dengan dimensi-dimensi berikuti ini.
1.                            Fakta/data sebagai dasar
Sebuah tulisan akan dapat dianggap sebagai hal yang sifatnya ilmiah karena dapat dasar pokoknya adalah data atau fakta. Jadi, setiap tulisan ilmiah itu bahan pokoknya adalah data atau fakta. Data bagi sebuah karya ilmiah harus berkualifikasi sempurna.
2.                            Pemikiran analisis dan konklusi logis.
Sebuah karangan ilmiah juga harus memenuhi ketiga dimensi kelogisan di dalam tiga hal, yakni pemikiran atau penalarannya, analisis atau pembahasannya, dan penarikan kesimpulan.
          Nah, apabila dimensi ilmiah demikian sudah semuanya di lakukan, maka jadilah karangan ilmiah dengan tulisan yang berkualitas baik, bahkan boleh pula dikatakan sempurna.
3.                            Objektif dan tidak berpihak
Salah satu yang harus di perhatikan dan ternyata sangat penting di dalam sebuah karangan ilmiah adalah bahwa pembahasan atau analisis yang dilakukan harus benar-benar objektif.
          Dalam hal ini, yang dimaksud adalah kebenaran ilmiah. Maka, analisis yang harus dilakukan tidak boleh bersifat subjektif, melainkan harus objektif.
4.                            Akurat dan sistematis
          Semua yang disajikan dalam karya ilmiah itu harus bersifat sistemik dan sistematik. Adapun yang dimaksud dengan sistemik itu ialah bahwa karya ilmiah harus sepenuhnya mengacu kepada system atau tata cara ilmiah tertentu yang sifatnya konvensional dan sekaligus universal.
Selanjutnya dapat dikatakan sistematis apabila pengaturan dan penataannya runtut sesuai dengan urutan yang berlaku umum sebagai karya ilmiah.
5.                            Tidak emosional
Karya ilmiah tidak boleh bernuansa emosional. Maka bahasa yang digunakan juga tidak boleh penuh dengan nuansa dan perasaan yang penuh dengan keharuan dan syarat dengan permohonan maaf. Lazimnya pula, bahasa yang emosional itu disajikan dengan nuansa kata yang berbelit- belit, tidak langsung pada persoalan atau sasarannya.
6.3  Asas-asas menulis karangan ilmiah
1.            Kejelasan (clarity)
Karangan ilmiah harus konkret dan jelas. Tidak boleh bersifat samar-samar, tidak boleh kabur, dan tidak boleh di wilayah abu-abu.
2.            Ketepatan (accuracy)
Karangan ilmiah menjunjung tinggi keakuratan. Hasil penelitian ilmiah dan cara penyajian hasil penelitian itu haruslah tepat atau akurat, penulis atau peneliti harus sangat cermat, sangat teliti, dan tidak boleh sembrono.
3.            Keringkasan (brevity)
Karangan ilmiah haruslah ringkas. Ringkas tidak sama dengan pendek. Jadi, karangan ilmiah itu tidak boleh menghamburkan kata-kata , tidak boleh mengulang-ulang ide yang telah di ungkapkan, dan tidak berputar-putar dalam mengungkapkan maksud atau gagasan.
6.4        Kerangka karangan
Dengan rumusan tama karangan yang baik, kalimat tesis yang baik, judul karangan yang baik, tujuan karangan yang jelas, akan dapat dijamin lahirnya karangan atau tulisan yang baik pula.
Secara umum, kerangka karangan dapat dianggap sebagai rencana penulisan yang mengandung ketentuan bagaimana kita akan menyusun sebuah karangan.
                             I.                Pendahuluan
1.            Latar belakang membahas…….
2.            Masalah merumuskan…….
3.            Tujuan berisi upaya……
                           II.                Masalah remaja
1.            Pergaulan bebas
2.            Ketergantungan obat
3.            ….
                         III.                Penutup
1.            Kesimpulan
2.            Saran.

7. Resume Bab Enam:  Ihwal resensi
7.1        Resensi
1.    Pengertian resensi
Resensi umumnya dipahami sebagai alasan dan penilaian terhadap sebuah karya. Karya tersebut dapat bermacam-macam, mungki film, mungkin buku, karya seni, atau mungkin pela produk teknologi.
Hal yang perlu di perhatikan dalam meresensi yaitu : tingkat keahlian, pengalaman dan cakrawala pandang penulisnya, analisis di dalam penyajian materinya, analisis kebahasaannya, ketajaman dan kekuatan topic serta pembahasannya, kekuatan ekspresinya, kekuatan intelektualnya.
Tujuan pokoknya ialah agar pembaca tertarik untuk membaca secara langsung buku yang sedang diresensi tersebut.
2.    Pertimbangan
Di depan sudah disampaikan bahwa dalam resensi tidak boleh hanya menyampaikan kekurangan buku yang sedang diresensinya. Akan tetapi, harus menunjukkan dimensi-dimensi positifnya dari bukku yang diresensi tersebut.
Secara khusus penulis hendak menegaskan bahwa pertimbangan-pertimbangan yang harus dibuat oleh peresensi itu dapat mencakup keinginan pengarangnya, kepentingan dari pembaca, dan materi atau esensi dari karya yang sedang diresensi tersebut.
3.    Prinsip resensi
Beberapa hal berikut yang harus di pertimbangkan dan di perhatikan dalam membuat resensi :
Ø  Bahasa yang digunakan harus jelas, tegas, tajam , akurat
Ø  Pilihan kata yang digunakan harus baik, tepat, tidak konotatif
Ø  Format dan isi reseni harus disesuaikan dengan kompetensi, minat, dan motifasi pembaca.
Ø  Objek seimbang dan proporsional dalam menyampaikan timbangan terhadap buku atau hasil karya.
4.    Unsur-unsur reseni
Berikut ini disajikan beberapa unsure yang harus dijadikan pertimbangan dalam resensi :
Ø  Estetika perwajahan karya yang sedang diresensi
Ø  Latar balakang penulisan dan pengalaman penulis
Ø  Tema dan judul dikaitkan dengan minat pembacanya
Ø  Penyajian dan sistematika karya yang sedang diresensi
Ø  Deskripsi teknis buku atau karya yang sedang diresensi
Ø  Jenis buku atau karya yang sedang diresensi
Ø  Keunggulan buku atau karya yang sedang diresensi
Ø  Kelemahan buku yang atau karya yang sedang diresensi
7.2        Kajian pustaka dan landasan teori
Sebagai kajian pustaka untuk kajian ini sengaja hanya dicermati dua karya linguirelevan, yakni :
1.    Kajian lapoliwa (1988)
2.    Kajian rahardi (2006)
Hal perkajian pertama adalah bahwa imperative bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi : Perintah, Suruhan, desakan, permintaan, saran, ajakan, tawaran, persilan, harapan, kehendak, keinginan, laran kutukan, dan ucapan performatif.
Temuan rahardi menginspirasi untuk segera menemukan makna-makna sosiopragmatik imperative, sehingga dapat kajian pragmatic yang telah dilakukan sebelumnya.
7.3        Metodologi
Langkah pertama yang harus dilakukan dalalm kajian ini adalah menyediakan data, sehingga data itu benar-benar siap untuk dikenai metode dan teknik-teknik analisis data. Data penelitian yang dimaksud pada dasarnya merupakan bahan jadi penelitian, bukan bahan mentah penelitian. Namun sebelum melakukukan analisis, data yang telah disediakan dengan sungguh baik kemudian dikelompokkan terlebih dahulu. Klasifikasi data dilakukan untuk mendapatkan tipe-tipe data, yang selanjutnya mempermudah proses analisis data pada tahapan berikutnya.
Untuk penyediaan data digunakan 3 macam metode, yaitu : metode simak, metode cakap, dan metode survey. Metode simak lazim disebut metode pngamatan atau observasi. Metode cakap dapat pula disejajarkan dengan metode wawancara. Masing-maing metode penyediaan data itu didalam penerapannya masih dijabarkan kedalam tekni-teknik penyediaan data yang menjadi bawahannya.
7.4        Pembahasan
Setelah menganalisis data, masuk pada tahap pembahasan. Pembahasan disini membahas hasil jadi penelitian. Perlu di garis bawahi, bahwa membahas suatu penelitian harus berdasarkan fakta, tidak boleh di karang sendiri, karena dari penelitian itu butuh bukti fakta.
7.5       Simpulan
Sejalan dengan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, dan pembahasan datanya, maka hal-hal berikut dapat dinyatakan sebagai simpulan. Simpulan disini hanya mengambil garis besarnya saja.

8. Resume Bab Tujuh:  Ihwal teknis ejaan
8.1 Pedoman teknis ejaan
1.     Bentuk kebahasaan yang harus diikuti tanda koma (,) dalam penulisannya.
Agaknya,
Paling tidak,
Akan tetapi,
Sebaliknya,
Akhirnya,
Sesudahnya,
Akibatnya,
Sementara itu,
Artinya,
Adapun,
Biarpun begitu,
Sungguhpun begitu,
Biarpun demikian,
Tambahan lagi,
Oleh sebab itu,
Sungguhpun demikian,
Sebagai kesimpulan,
Maka dari itu,

2.    Bentuk yang didahului dengan tanda koma (,) dalam penulisannya dan letaknya dalam kalimat.
…, padahal
…, sedangkan
…, seperti
…, misalnya
…, contohnya
…, antara lain
…, di antaranya
…, yaitu
…, yakni
…, ialah
…, adalah
…, pasalnya

3.      Bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak didahului tanda koma, khususnya apabila bentuk kebahasaan itu diikuti anak kalimat.
…bahwa…
…maka…
…sehingga…
…sebab…
…jika…
…kalau…
…apabila…

4.    Bentuk-bentuk kebahasaan yang didahului tanda koma, khususnya apabila bentuk kebahasaan itu diikuti induk kalimat.
…, bahwa…
…, maka…
…, karena…
…, sehingga…
…, sebab…
…, jika…
…, kalau…
…, apabila…
…, bilamana…

5.    Bentuk- bentuk kebahasaan yang harus hadir berpasangan karena merupakan konjungsi korelatif.
Baik…maupun
Bukan…melainkan
Tidak…tetapi
Antara…dan
Tidak hanya…tetapi juga

6.    Bentuk-bentuk kebahasaan yang harus hadir berpasangan karena merupakan idiom atau bentuk senyawa.
Sesuai dengan
Terkait dengan
Seirama dengan
Berkaitan dengan
Bertalian dengan
Dbandingkan dengan

7.    Bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak boleh hadir karena berkaitan dengan dimensi kedaerahan dan kellisahan.
Gimana
mangkanya
Gitu
Karenanya
Slama
Haturkan
Nggak
Menghaturkan
Peduli amat
Wilayah pemukiman
Ini kali
Penduluan
Ini hari
Pembaharuan
Ketawa
Nampak

8.    Bentuk-bentuk kebahasaan yang salah karena merupakan hasil dari analogi bentuk-bentuk kebahasaan yang salah.
Lelenisasi
Neonisasi
Listrikisasi
Konblokisasi
Selokanisasi
Teleponisasi
Sengonisasi
Jatinisasi
Turinisasi
Abatisasi
Kuningisasi
Semprotisasi
Hitamisasi
Wesenisasi
Lampunisasi
Pompanisasi

9.    Bentuk- bentuk yang keliru karena merupakan hasil dari analogi nomina dan verba yang tidak benar.
Koordinir
Mengorganisir
Mengkoordinir
Terorganisir
Dikoordinir
Dramatisir
Terkoordinir
Mendramatisir
Legalisir
Didramatisir
Dilegalisir
Realisirs
Proklamir
dipolitisir

10. Bentuk-bentuk kebahasaan yang salah karena ketidakcermatan dalam penulisan.
Pungkir
kusus
Dipungkiri
Ihlas
Mempungkiri
Akhli
Jadual
Husus
Gladi
Apotik
Gladi resik
Apotiker
Panutan
Fikiran
Antri
Difikirkan
Mengantri
Faham
Prosen
Difahami
Diprosenkan
Kwitansi
Prosentase
dikwitansikan

11. Bentuk kebahasaan yang salah karena adanya anggapan yang salah ihwal penulisan gabungan kata.
Beritahu
tanggungjawab
Lipatganda
Terimakasih
Kerjasama
Keretaapi
Garisbawah
Rumahsakit
Sebarluas
Suratkabar
Tandatangan


12.   Bentuk jadian yang salah akibat adanya anggapan gabungan kata yang salah.
Memberitahu
Sebarluaskan
Beritahukan
Bertandatangani
Berlipatganda
Tandatangani
Bekerjasama
tandatangankan
Digarisbawah
Berterimakasih
Tersebarluas
Terimakasihi

13.   Bentuk kebahasaan yang salah akibat pemahaman morfofonemik yang salah.
Memproduksi
Memerhatiakn
Memromosikan
Mempesona
Memproses
Mengkomunikasikan
Memraktikkan
Mengkoordinir
Memrakarsai
Memunyai

14.   Bentuk kebahasaan yang salah karena adanya kesalahkaprahan.
Berkesinambungan
Menyuci
Disini
Menyoblos
Disana
Maka itu
Diketemukan
Merubah
Sampai ketemu kembali
Tersebut diatas
Seperti misalnya
Nampak
Seperti contohnya
Silahkan

15.   Bentuk kebahasaan yang salah akibat kegandaan konjungsi kalimat.
Jika…maka
Manakala…maka
Karena…maka
Meskipun…tetapi
Kalau…maka
Meskipun…namun
Sehingga…maka
Walaupun…tetapi
Bila..maka
Kendatipun…namun

16.   Bentuk “di” ditulis serangkai apabila kata yang mengikutinya adalah ‘verba’ atau ‘kata kerja’. Bentuk ‘di’ ditulis tidak serangkai dengan kata yang mengikutinya apabila kata itu merupakan nomina atau kata benda. Bentuk ‘di samping’ dan ‘disamping’ berbeda, karena yang satu bermakna ‘di sebelah’, sedangkan yang satunya bermakna ‘selain’ atau ‘kecuali’.
Dipukul
Di meja
Ditendang
Di kursi
Dipikir
Di halaman
Dibangun
Di kelas
Dipasang
Di gedung
Dikawal
Di kolam
Dipakai
Di luar

17.   Bentuk ‘ke’ harus ditulis dengan kata yang mengikutinya apabila diikuti kata bilangan atau numeralia. Selain itu, ‘ke’ juga harus ditulis serangakai dengan ‘luar’ kalau merupakan kebalikan dari kata ‘masuk’. Adapaun ‘ke’ pada ‘ke luar’ ditulis tidak serangkai dengan bentuk itu merupakan lawan dari bentuk ‘ke dalam’.
Kedua
Ketiga
Keempat
Keluar
Kekasih
Ketua
Kemari

18.   Bentuk ‘pun’ harus ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya, apabila ‘pun’ tersebut sudah merupakan satu kesatuan dengan bentuk kebahasaan yang mendahuluinya. Adapun ‘pun’ harus ditulis terpisah dengan kata yang mendahuluinya, apabila ‘pun’ berfungsi ‘menyangatkan’ atau ‘mengeraskan makna’. Bentuk ‘sekalipun’ bermakna ‘sekali saja’ atau ‘meskipun sekali’ atau ‘walaupun sekali’. Penulisan ‘sekali pun’ dalalm makna yang terakhir ini harus ditulis tidak serangkai.
19.   Kata gabung yang salah satu bagiannya tidak dapat berdiri sendiri sebagai kata harus dituliskan serangkai dengan bentuk kebahasaan yang  mengikutinya. Misal: intrakurikuler, ekstrakurikuler, perikemanusiaan.
20.   Kata gabung dasar yang bagian-bagiannya tidak sangat erat hubungannya. Sehingga tidak dapat disatukan menjadi satu. Misal: tanggung jawab, kerja sama, daya guna.
21.Bentuk ‘sebagai berikut’ dalam penggunaannya dapat diakhiri dengan tanda titik (.) digunakan apabila yang menyertai adalah kalimat-kalimat, dan dapat pula diakhiri dengan tanda titik dua (:) digunakan apabila perincian yang menyertainya adalah kata, frasa, atau klausa.
  1. Ihwal bentuk ‘adalah’, ‘ialah’, ‘yakni’, dan ‘yaitu’.
Bentuk-bentuk kebahasaan itu dalam perincian yang bersifat mendatar atau horizontal, maupun vertikal, tidak perlu diikuti dengan tanda titik dua (:).
Misal:
a.        Tiga persoalan yang  harus diatasi secepatnya, yakni (a) sulit dijangkau, (b) sulit dicari, (c) sulit ditemukan.
b.        Tiga persoalan mendasar yang harus diatasi secepatnya, yakni
a.        Sulit dijangkau,
b.        Sulit dicari, dan
c.        Sulit ditemukan.
      Bentuk ‘ialah’ digunakan untuk mendefinisikan sesuatu, sedangkan bentuk ‘adalah’ digunakan untuk menegaskan hubungan subjek kalimat dengan unsur penjelas yang mengikutinya.
23.   Ihwal tanda hubung (-) dan tanda pisah (−)
Tanda hubung (-) digunakan dalam bentuk ulang dan dituliskan diantara bentuk yang diulang tersebut, sedangkan tanda pisah (−) digunakan untuk menyatakan maksud ‘hingga’ atau ‘sampai dengan’.
24. Ihwal bentuk ‘tiap-tiap’, ‘setiap’, ‘masing-masing’, ‘sesuatu’ dan ‘seseorang’. Diantara bentuk-bentuk kebahasaan di atas itu, yang dapat diikuti oleh nomina adalah ‘tiap-tiap’  atau ‘setiap’.
25.   Ihwal ‘sementara’, ‘sementara itu’, dan ‘adapun’.
Bentuk ‘sementara itu’ dan ‘adapun’ berkedudukan sebagai konjungsi antar kalimat .konjungsi antar kalimat demikian itu harus ditulis dengan tanda koma yang menyertainya. Bentuk ‘sedangkan’ adalah konjungsi intrakalimat, bukan antar kalimat. Contoh-contoh berikut ini salah dan harus dihindari pemakaiannya.
a.  Sementara kalangan akan segera datang menyusul.
b.  Adapun masalah-masalah kelembagaan cenderung diabaikan.
c.  Sementara para mahasiswa  tidak diperkenankan masuk kampus.
Bentuk kebahasaan yang benar adalah sebagai berikut:
a.  Beberapa kalangan akan segera datang menyusul.
b.  Adapun masalah-masalah kelembagaan cenderung diabaikan.
c.  Sementara itu, para mahasiswa tidak diperkenankan masuk kampus.
26.   Ihwal ‘seperti’, ‘misalnya’, ‘contohnya’, ‘antara lain’
Bentuk-bentuk kebahasaan ini dianggap sebagai konjungsi yang tugasnya adalah memerinci sekaligus pembatas. Contoh:  Lambatnya mengatasi masalah itu dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya terbatasnya keuangan, kurangnya sumber daya manusia.

1.     Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa buku ini terdiri dari tujuh bab.
a.      Bab 1 jati diri bangsa yang di dalamnya membahas tentang  arti bahasa, fungsi bahasa, dan ragam bahasa, dengan ini diharapkan pembaca agar mengetahui apa arti bahasa yang sebenarnya.
b.      Bab 2 ihwal diksi yang di dalamnya membahas peranti-peranti  diksi, ihwal peristilahan, aneka kasus diksi.
c.      Bab 3 ihwal kalimat berisi tentang kelas kata, frasa, klausa, dan kalimat, dengan mempelajari bab ini pembaca akan diperkenalkan bagaimana cara membuat kalimat yang efektif.
d.      Bab 4 ihwal paragraf di dalamnya membahas pengertian paragraf itu sendiri, ide utama dan kalimat utama, kalimat penjelas, kalimat penegas, unsur-unsur pengait paragraf, prinsip kepaduan bentuk dan makna paragraf, jenis dan cara pengembangan paragraf.
e.      Bab 5 ihwal karya ilmiah akademik di dalamnya membahas karangan ilmiah, asas-asas karangan ilmiah, tema karangan, judul karangan, kalimat tesis, kerangka karangan, model-model berpikir, ihwal latar belakang masalah dan rumusan masalah, ihwal tujuan penulisan, ihwal hipotesis, ihwal abstrak, cara kerja penyusunan karangan ilmiah, empat langkah penyediaan data, aspek-aspek dalam analisis data, berpikir linear dalam karangan ilmiah.
f.          Bab 6 ihwal resensi di dalamnya membahas pengertian, pertimbangan dalam meresensi, prinsip resensi, unsur-unsur resensi.
g.      Bab 7 ihwal teknis ejaan, dalam bab ini dibahas tentang teknis-teknis ejaan yang benar dan sesuai dengan ejaan yang telah disempurnakan. 


















Daftar Pustaka

Rahardi, R. kunjana, Dr. 2009, Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi.                                                                                                    Jakarta: Erlangga.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar